Cendrawasih Ingin Terbang

Cendrawasih Ingin Terbang

Aku berjalan di tengah hutan belantara. Disitu pula terlihat sesosok bertubuh besar dengan pernak-pernik khas suku pedalaman dan terlihat memiliki gelagat untuk menculikku. Yah, apa daya. Aku hanya seorang jurnalis amatir yang ditugaskan ke Wamena dengan bekal pengalaman yang terbilang tidak terlalu mentereng. Aku ditugaskan ke daerah ini karena sistem random atau acak. Tugasku disini adalah mengupas latar belakang lahirnya gerakan separatis di Papua.

"Ari, sini. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan ke kamu," ujar Rony, rekanku.

"Iya-iya. Aku kesana."

Di sana, terlihat seonggok tengkorak yang sudah dilubangi. Tak hanya itu, beberapa tulang-belulang juga terlihat di beberapa sudut dekat pepohonan damar. Keganjilan menyerang batinku. Jiwa wartawan ku pun mulai keluar.

"Ayo kita selidiki! Ini pasti terkait dengan permasalahan yang akan kita angkat!" ajakku dengan semangat.

Aku dan Rony pun mencoba menelusuri beberapa pelosok hutan di Wamena yang lebat itu. Dinginnya malam serta rintik hujan tak menyurut langkah kami dalam investigasi ini.

Setelah ditelusuri, kami menemukan sebuah rumah beratap rumbia yang terlihat dikelilingi tulang-belulang. Di samping rumah tersebut, terdapat sebuah bendera bergambar bintang yang berjumlah empat.

"Permisi," ucapku dengan nada sopan.

"Ya, ada apa?" ucap sang penghuni yang terlihat gagah dengan aksesoris kesukuan di tubuhnya bernama Robert Mandowen. Dalam hatiku, sepertinya orang inilah yang telah mengejarku sebelumnya. Namun, masalah tersebut aku lupakan.

"Begini. Kami menemukan beberapa tulang-belulang di salah satu area hutan disana. Dan setelah kami selidiki, ternyata petunjuk mengarah ke tempat ini. Mengapa hal ini bisa terjadi?" tanya Rony.

"Itu adalah tengkorak milik seorang Amrik. Lebih tepatnya petinggi perusahaan pertambangan yang beroperasi di daerah ini yang bernama Aregon. Kami tidak suka melihat kerakusan mereka dalam merebut tanah kami," ucapnya.

"Lalu, adakah kaitannya dengan bendera yang terpasang di samping rumah ini?" tanyaku

"Ya. Karena keberadaan merekalah, kami ingin meraih kedaulatan kami sendiri! Di Indonesia, kami merasa tidak diperhatikan!" ucapnya dengan amarah.

"Apakah Anda tahu dimana letak perusahaan itu berada?" tanyaku dengan rasa ingin tahu yang tinggi.

"Ya. Tetapi, disana penjagaan begitu ketat. Tengkorak ini adalah hasil upaya pembunuhan yang dilakukan oleh pendahulu kami berpuluh-puluh tahun yang lalu. Ketika itu, keamanan di lokasi perusahaan tersebut masih longgar, sehingga kami bebas melakukan pergerakan di sana."

"Tidak apa-apa. Kami butuh informasi secara lengkap," ujar Rony

"Oke. Lokasinya di seberang hutan sana."

"Terima kasih."

Setelah menyusuri hutan, kami pun sampai di lokasi. Tempat tersebut terlihat gagah di tengah liarnya alam Bumi Cendrawasih ini. Tanpa pikir panjang, kami langsung menuju gerbang utama.

"Permisi, Pak. Kami dari pers diberikan tugas untuk meliput disini." ucapku dengan nada sopan.

"Apa? Pers? Tidak-tidak!"

"Kenapa, Pak? Apa bapak takut jika borok perusahaan tempat Anda bekerja akan terlihat?" ujar Rony dengan nada kritis.

"Pergi kalian!" ucap penjaga itu dengan penuh amarah.

Mendengar tanggapan tersebut, kami semakin gerah. Kami pun mulai berpikir tentang strategi lain yang akan kami gunakan untuk mewawancarai pimpinan perusahaan tersebut. Akhirnya, setelah sekian lama, kami pun menemukan strategi itu.

Kami pun memulainya dengan memasuki hutan belantara dengan penerangan minim. Lalu, kami bergerak menuju kantor pemerintah daerah setempat. Sesampainya disana, kami berhasil bertemu dengan Bupati Wamena, Lukas Bonai.

"Permisi, Pak. Kami dari pers ingin bertanya mengenai keberadaan perusahaan asing di balik hutan sana," ucapku.

"Iya, boleh."

"Jadi begini, Pak. Kami menemukan sebuah tengkorak di dalam hutan Wamena. Menurut salah satu penduduk di sana, tengkorak tersebut adalah milik petinggi perusahaan Aregon. Kami pun berinisiatif pergi ke lokasi perusahaan tersebut untuk meminta klarifikasi mengenai hal itu. Tetapi, ketika sampai di sana, kami disambut secara kasar oleh penjaganya. Jadi, mengapa perusahaan tersebut bersikap seperti itu?" jelas Rony.

"Sebenarnya, hal tersebut merupakan suatu bentuk ketakutan agar rahasia mereka tidak terbongkar karena perusahaan itu didirikan tanpa izin dari pemerintah pusat. Mereka mengeruk kekayaan alam di sini secara besar-besaran. Tentu saja tindakan tersebut tidak disukai oleh penduduk pribumi. Oleh karena itu, mereka melakukan suatu perlawanan secara sporadis ke perusahaan tersebut pada tahun 1980. Hasilnya, pimpinan perusahaan Aregon pada saat itu pun berhasil terbunuh oleh sebuah tombak. Jasadnya pun dipotong-potong dan dibuang begitu saja di hutan tersebut hingga menjadi tengkorak seperti yang kau lihat sebelumnya. Dan di samping rumah mereka pasti terdapat bendera bintang berjumlah empat. Itulah bendera Irian Merdeka. Mereka merasa kemerdekaan adalah solusi terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan di Bumi Cendrawasih ini. Perlu diketahui, selama ini wilayah Papua selalu dianaktirikan oleh pemerintah RI dalam hal pembangunan ekonomi serta sumber daya manusia," jelas sang bupati.

"Oh. Jadi begitu, Pak. Ngomong-ngomong, bapak dapat informasi mengenai latar belakang keberadaan Aregon tersebut dari pihak perusahaan langsung?" tanya Rony. Sebagai seorang wartawan, ia harus tetap memastikan sebuah informasi yang disampaikan dari pihak ketiga.

" Iya. Saya mempunyai rekan di sana. Dan dia merupakan salah satu staf di perusahaan tersebut," jelasnya.

"Bapak punya nomor teleponnya?"

Lalu, sang bupati pun memberikan nomor telepon rekannya tersebut. Sederet nomor dengan kode nomor negara Paman Sam di depannya. Tak lupa, ia pun juga memberikan nomornya serta nomor wakilnya jika dibutuhkan.

"Hmmm... Aku sudah melakukan suatu kesalahan besar. Mereka mengiming-imingiku dengan uang. Tetapi untuk saat ini, aku bongkar demi kedaulatan bangsa," ucap Pak Lukas dalam hati.

"Terima kasih atas kerjasamanya, Pak" ucapku.

"Sama-sama"

Setelah itu, kami pun mencoba menghubungi mereka dengan menggunakan nomor yang tidak mudah dilacak oleh siapapun  dan kami pun menyamar sebagai wartawan utusan CIA dari Indonesia agar mereka tunduk kepada kami.

"Jadi, bagaimana mister?" tanyaku.

"Oke. Besok kita adakan pertemuan di dekat daerah pertambangan," ucap sang pimpinan melalui telepon stafnya tersebut.

Sementara itu, Pak Lukas yang sedang bersantai menerima sebuah telepon.

"Hei, Pak. Kau telah membocorkan rahasia kita berdua, ya?" ucap suara di seberang sana.

"Apa?"

 Sang bupati sebenarnya pura-pura tidak tahu atas pembocoran itu.

"Jangan pura-pura tidak tahu, Pak!"

Telepon pun langsung dimatikan.

Esoknya, terdengar kabar bahwa sang bupati telah tewas terbunuh oleh seseorang tak dikenal.

"Wah, ini sudah mulai serius!" kata Rony ketika mendengar kabar terbunuhnya Pak Lukas dari wakilnya.

"Apakah ini ada hubungannya dengan percakapan yang kita lakukan kemarin dengan staf perusahaan itu?" tanyaku

"Besar kemungkinan," ucap Rony

Keesokan harinya, kami pun bertemu dengan pimpinan Aregon di Indonesia, Michael Smith. Pertemuan itu diadakan dengan persetujuan Wakil Bupati Wamena, Petrus Solossa.

"Selamat pagi, Mister" sapaku.

"Pagi. Ada apa?" ucapnya dengan bahasa Indonesia yang masih terbata-bata.

"Menurut Bupati Wamena, perusahaan Anda adalah perusahaan ilegal serta telah mengeruk kekayaan alam di daerah ini secara masif. Apa semua itu benar?" tanyaku secara serius.

"Hmm.... Oke. Akan saya jabarkan. Jadi, kami itu membuka tambang di Wamena serta beberapa daerah lain di Papua secara ilegal karena pemerintah kalian yang keras kepala pada tahun 1970. Presiden saat itu tidak memberikan izin kepada kami. Akhirnya, kami pun nekat membuka tambang dengan mengesampingkan kondisi di sekitar area pertambangan tersebut." jelas Michael.

"Tetapi, bukankah hal tersebut melanggar HAM?" tanya Rony.

"Iya. Tetapi, kami ingin mengejar keuntungan sebesar-besarnya serta kami ingin mengejar target pada saat itu."

"Tetapi, apakah kalian sadar bahwa ada sekelompok penduduk lokal yang berusaha mengusir kalian?" tanyaku.

"Ya. Kami menyadari hal itu. Tetapi, kami tidak peduli. Yang penting kami mendapat keuntungan sebesar-besarnya."

Lalu, tiba-tiba muncul sekumpulan suku primitif yang dipimpin oleh Robert Mandowen. Tombak pun tembus ke leher Michael. Sorak-sorai pun terdengar dari mulut mereka.

"Inilah kemerdekaan sesungguhnya!" teriak Robert.

"Tunggu, tunggu. Kau dapat info darimana kalau kami mengadakan pertemuan dengan pimpinan Aregon?" tanya Rony.

"Kami dapat info dari Pak Petrus. Ketika kalian hendak melakukan wawancara, kalian menghubungi Pak Petrus terlebih dahulu, bukan? Setelah itu, dia pun memberitahu kami," tanya Robert.

Sesaat setelah itu, bendera berbintang empat pun tertancap dengan gagahnya. Dan mereka merasa kemerdekaan telah mereka raih saat ini.

"Hei, hei. Kalian tidak mau setia kepada RI? Biarpun pemerintahnya terlihat tidak peduli terhadap kalian, tetapi paling tidak hormatilah para pahlawan Papua yang turut memperjuangkan kemerdekaan RI," ucapku.

"Tetapi, pemerintah RI seperti kacang lupa kulitnya. Mereka mendapat beberapa keuntungan dari hasil kekayaan alam kami, tetapi mereka tidak membalas jasa kami," ujar Robert.

"Iya, saya tahu. Tetapi, kalau kalian tetap mau mengkhianati RI, sama saja kalian mengkhianati para pendahulu kalian. Coba kalian pikirkan," ucap Rony.

Lalu, Robert dan kelompoknya pun terdiam merenung. Bahkan, beberapa di antara mereka ada yang menangis.

"Oke. Sekarang kami paham," ucap Robert.

Lalu, bendera bintang empat pun disobek dan diganti dengan bendera Sang Saka Merah Putih. Kedaulatan RI pun kembali tegak di ujung timurnya

 

Penulis: Alfat Eprizal