Jerat Pencemaran Nama Baik, Jurnalis Ditahan karena Berita Tanah Sengketa

Jerat Pencemaran Nama Baik, Jurnalis Ditahan karena Berita Tanah Sengketa

Sumber Gambar : kalsel.prokal.co

LPM Progress — Seorang blogger, Diananta Putra Sumedi, telah ditahan sejak 4 Mei oleh pihak kepolisian Kalimantan Selatan. Penahanan ini karena Diananta dianggap mencemarkan nama baik PT. Jhonlin Agro Raya, sebuah perusahaan kelapa sawit dari perusahaan Jhonlin Group dalam artikelnya.

Melansir Siaran Pers: Blogger Indonesia Ditahan Karena Liputan Soal Konflik Lahan, diketahui bahwa pada November 2019, Diananta menulis di blognya, Banjar Hits, PT. Jhonlin Agro Raya yang berada di Tanah Bumbu, bersengketa dengan warga tiga desa Dayak, termasuk Sukirman dari Majelis Umat Kepercayaan Kaharingan. Dalam kutipan wawancara yang ditulis Diananta, Sukirman mengatakan rencanaya untuk mengajukan gugatan atas dugaan bahwa perusahaan telah secara ilegal mengambil alih tanah di desa-desa Dayak. Namun kemudian Sukirman mengajukan bantahan atas kutipan yang dikaitkan padanya.

Atas pengaduan yang dilakukan oleh Jhonlin Group ke Dewan Pers pada 11 November. Kumparan pada 11 Februari meminta maaf kepada Jhonlin Group dan mencabut artikel-artikel tersebut disertai dengan pemberian hak jawab. Namun tiga bulan kemudian, pada 4 Mei, Polda Kalimantan Selatan menangkap dan menahan Diananta dengan tuduhan pencemaran nama baik. Seorang juru bicara kepolisian mengatakan bahwa penangkapan dan penahanan atas Diananta diperlukan karena dikhawatirkan Diananta akan terus menulis tentang kasus ini.

Andreas Harsono, peneliti senior Indonesia di Human Rights Watch menilai bahwa hukuman pidana untuk pencemaran nama baik adalah hukuman yang tidak proporsional, dan sering disalah gunakan oleh pihak kepolisian Indonesia. Hal ini menurut Andreas berpotensi menghambat kebebasan pers.

“Kepolisian Indonesia dan perusahaan-perusahaan yang dirugikan seharusnya berhenti menggunakan tuduhan pencemaran nama baik untuk mengintimidasi, menahan, atau menuntut para jurnalis dan orang lain menggunakan hak atas kebebasan berbicara,” jelas Andreas dalam siaran pers. “Dengan masuknya kasus dugaan pencemaran nama baik terlebih dahulu ke Dewan Pers, Indonesia sebenarnya sudah menyediakan sarana untuk dengan cepat mengatasi dan memperbaiki ketidakakuratan di media.” tambahnya.

Melansir dari kalsel.prokal.co, sengketa pemberitaan ini sejatinya sudah diselesaikan Dewan Pers. Dalam lembar penilaian Dewan Pers tertanggal 5 Februari lalu, dinyatakan telah melanggar kode etik jurnalistik. Namun meski demikian, penyidikan pihak kepolisian tidak lantas berhenti. Diananta, mantan wartawan majalah Tempo ini dijerat dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, bukan UU Pers atas kasus yang mendera dari laporan yang berjudul 'Tanah Dirampas Jhonlin, Dayak Mengadu Ke Polisi'.

Human Right Watch pada tahun 2010 sempat menerbitkan analisis mengenai dampak negatif pasal-pasal pidana pencemaran nama baik di Indonesia, termasuk hukum terkait teknologi informasi, dan mendesak pencabutan hukum-hukum tersebut. Human Right Watch menilai undang-undang tersebut mengandung bahasa yang sangat tidak jelas dan memungkinkan pembalasan terhadap jurnalis dan orang lain yang telah melakukan tuduhan korupsi, penipuan, atau pelanggaran terhadap kepentingan yang berkuasa atau pejabat pemerintah.

“Mengancam seorang penulis dengan pidana penjara karena pencemaran nama baik memiliki efek mengerikan pada kebebasan berbicara untuk semua jurnalis. Pencemaran nama baik dalam hukum perdata adalah tanggapan yang lebih proposional untuk dugaan ujaran yang bersifat fitnah,” ujar Andreas Harsono dalam siaran pers bertanggal 18 Mei.

 

Penulis : Astin Kho
Editor   : Irfan Zidni