Jurnalisme Perempuan: Melawan Stigma pada Pusaran Hegemoni Maskulinitas

Jurnalisme Perempuan: Melawan Stigma pada Pusaran Hegemoni Maskulinitas

Sumber gambar: freepik.com

 

LPM Progress – Jurnalis perempuan adalah para profesional dalam bidang jurnalisme yang secara khusus merupakan perempuan. Mereka berperan dalam melaporkan berita, menyusun laporan dan menyampaikan informasi kepada publik. Seiring dengan perkembangan waktu, peran dan pengaruh jurnalis perempuan semakin meningkat di dunia jurnalisme.

Namun, masih banyak media yang memiliki stereotip bahwa perempuan itu makhluk yang lemah, sehingga mereka enggan mempercayakan projek liputan yang beresiko kepada perempuan. Pada akhirnya, karena tidak pernah diberikan akses dan kesempatan untuk pekerjaan-pekerjaan yang dianggap hanya khusus untuk laki-laki, perkembangan jurnalis perempuan akan begitu-begitu saja.

Dikutip dari laman website Aliansi Jurnalis Independen (AJI), data survei Aliansi Jurnalis Independen Indonesia menunjukkan hanya 6% jurnalis perempuan yang duduk sebagai petinggi redaksi. Artinya 94% atau mayoritas jurnalis perempuan bekerja sebagai reporter atau bukan pengambil keputusan redaksional. Kecilnya jumlah jurnalis perempuan dalam redaksi membuat banyak kebijakan media kurang ramah terhadap kebutuhan perempuan, termasuk dalam tugas peliputan dan masalah pengupahan.

Menurut jurnalis Konde.co, Ika Ariyani, peran jurnalis perempuan di media dapat mengubah sistem yang tidak ramah terhadap perempuan. Walaupun begitu, tidak bisa terlalu optimis. Hal ini dikarenakan kondisi yang menunjukkan bahwa mayoritas peran pemimpin redaksi dibebankan kepada laki-laki masih menjadi isu utama. Pemimpin merupakan pengambil keputusan, sehingga jika mereka (laki-laki) tidak memiliki pengalaman (dalam memahami peran gender) maka perubahan sulit terjadi. Lebih lanjut, Ika Ariyani memberikan harapan agar jurnalis perempuan tidak terpengaruh oleh hegemoni maskulinitas, namun memiliki pengetahuan sendiri tentang bagaimana menulis berita yang tidak stereotip kepada perempuan, khususnya terkait kasus kekerasan seksual.

“Jurnalis perempuan juga diharapkan dapat menulis dengan perspektif korban. Selain itu, laki-laki juga memiliki keterbatasan dalam memahami gender, sehingga penting bagi mereka untuk lebih peka dan mengeluarkan empati ketika menulis mengenai isu-isu perempuan,” ujar Ika Ariyani ketika diwawancarai melalui Google Meeting (20/6).

Ika Ariyani juga berpendapat bahwa partisipasi perempuan dalam dunia jurnalistik memiliki dampak positif, seperti beragamnya berita yang disampaikan, suara-suara perempuan yang didengar, dan mendorong terciptanya kebijakan pemerintah yang berpihak pada perempuan. Media juga dapat dijadikan alat untuk memerangi ketidakadilan gender. Sementara bagi peliputan yang mengharuskan pergi ke daerah yang mungkin tidak aman, perusahaan harus bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan kepada jurnalis perempuan.

Berbicara tentang topik perubahan pada peran perempuan dalam pekerjaan tambang dan kebutuhan akan perlindungan gender dalam profesi jurnalis, Ika menekankan pentingnya peran pemimpin dalam mengambil keputusan terkait keamanan jurnalis perempuan dan perlindungan hukum. Selain itu, Ika menuturkan bahwa gaya penulisan dan pendekatan dalam jurnalisme perempuan dapat berbeda tergantung pada karakteristik media dan perlu mendekati isu-isu inklusif.

Ika pun menjelaskan bagaimana cara menulis tulisan yang dapat menarik perhatian untuk menyuarakan peran perempuan. Menurut Ika, jurnalis perlu melihat dari sisi-sisi yang tidak pernah dipikirkan orang lain, seperti mengapa para ibu pekerja sawit terpaksa bekerja di kebun sawit sementara perkebunan sawit dibenci masyarakat karena kebanyakan lahan mereka diambil untuk diubah menjadi kebun sawit, tetapi para ibu pekerja merasa tidak memiliki pilihan lain selain bekerja di perusahaan sawit tersebut. Jurnalis juga dapat membahas mengenai kebersihan sumber air di sekitar kebun sawit atau dampak limbah sawit terhadap perekonomian untuk menarik minat pembaca. Berita harus ditulis dengan benar dan sesuai dengan keilmuan jurnalistik.

Bagi Ika, harapan utama jurnalis perempuan adalah mencapai kesetaraan gender penuh dalam industri jurnalisme. Jurnalis perempuan harus diberikan kesempatan yang sama dengan rekan-rekan pria dalam hal mendapatkan pekerjaan, penggajian yang adil, promosi, dan pengakuan atas karya mereka. Harapan ini juga termasuk mengatasi stereotip gender yang membatasi peran dan potensi jurnalis perempuan dalam meningkatkan pengetahuan dan perspektif baru untuk memperkaya pemberitaan.

Meskipun mungkin mendapatkan tugas dengan template, jurnalis perempuan harus mandiri dan tidak sepenuhnya mengikuti permintaan untuk menulis clickbait. Walaupun terpaksa mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan pekerjaan ini, tetapi penting untuk terus meningkatkan pengetahuan, dan juga perlu melihat media-media alternatif yang membuka sisi-sisi baru serta melihat apakah tantangan yang dihadapi oleh perempuan dalam jurnalistik lebih besar daripada laki-laki atau kondisinya masih setara. Penggajian bukanlah satu-satunya faktor dalam isu ini, tetapi juga akses dan beban ganda yang dialami oleh perempuan.

“Oleh karena itu, penting untuk menyatukan jurnalis perempuan dan solidaritas profesional dalam meningkatkan kondisi kerja dan kesejahteraan jurnalis secara umum. Hal ini dapat dimulai dengan memperbanyak jumlah jurnalis perempuan, sehingga publik tidak hanya mengenal jurnalis laki-laki saja," ujar Ika.

Ika menambahkan bahwa jurnalis perempuan dapat mengangkat isu perempuan yang berbeda secara profesional dan beretika, sehingga dapat membangun kesadaran bersama tentang isu yang berbeda di kalangan jurnalis perempuan yang nantinya dapat memperkuat asosiasi media untuk kesejahteraan umum jurnalisme.

Penulis: Ariqah Fahira

Wartawan: Valensiya

Editor: Naila Hanin