Kasus Ariyanto: Bagai Kancil Diserang Buaya
Ket. Foto: Suasana persidangan Ariyanto di Pengadilan Negeri kelas IB Kota Bogor, Senin (27/1). (dok/pribadi/Azam)
LPM Progress - “Waktu di Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saya sudah babak belur. Saya dipukul, digetok pake helm besi, diinjak-injak, hingga hampir pingsan dengan mulut dan telinga keluar darah” ujar Ariyanto saat diwawancara, di PN Bogor Kota, (27/1/2020).
Ariyanto merupakan pemuda 22 tahun, asal Cilebut, Kabupaten Bogor yang ditangkap polisi pada saat demonstrasi 25 September 2019.
Ia didakwa melakukan kekerasan dan melawan anggota Polresta Bogor Kota, Chandra Nelson saat demo Reformasi Dikorupsi di Jalan Harupat, Sempur, Bogor, Jawa Barat.
Dilansir dari News.detik.com, dalam persidangan, Ariyanto mengaku dipukuli polisi saat memberikan keterangan untuk BAP di Polresta Bogor Kota. Hal ini dikatakan Ariyanto saat diperiksa sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri kelas IB Kota Bogor, Jalan Pengadilan Raya, Bogor, Jawa Barat, senin (27/1/2020). Ariyanto mengatakan ada sekitar 4 atau 5 orang yang memukulnya.
Tindakan dari polisi saat memeriksa Ariyanto merupakan hal yang tidak dibenarkan hukum. Sebab hal tersebut termasuk ke dalam tindak pidana penganiayaan, selain itu juga merupakan bentuk pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.
Menurut hukum, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim. Dasar hukumnya, pasal 52 Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbunyi “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim”.
Selain itu, berdasarkan KUHAP tersangka/terdakwa berhak diperiksa tanpa tekanan seperti; intimidasi, ditakut-takuti, dan disiksa secara fisik.
Prinsipnya, untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang sebenar-benarnya dan tidak menyimpang dari fakta, maka tersangka/terdakwa harus dijauhi dari rasa takut dan tekanan. Tekanan banyak atau sedikit pun akan memengaruhi jawaban-jawaban atas pertanyaan dalam pemeriksaan.
Polisi merupakan instrumen yang paling penting dalam penegakan hukum, tentunya agar menjalankan fungsinya dengan baik dan benar maka polisi juga patut menaati undang-undang dan aturan lainnya. Melakukan penegakan hukum pun polisi harus menaati prosedur dan aturan yang telah ada, tanpa terkecuali.
Namun sangat disayangkan ketika institusi yang seharusnya menjadi penegak hukum, kini dalam memperoleh bukti hukumnya dengan menghalalkan segala cara.
Tindakan yang dilakukan oleh penyidik terhadap Ariyanto hingga menyebabkan luka-luka pada wajah dan gangguan pendengaran. Merupakan tindakan kesewenang-wenangan dan benar-benar melanggar hukum. Di sisi lain, institusi yang katanya penegak hukum, melakukan upaya penegakan dalam menerangkan suatu pristiwa, alih-alih menegakan hukum justru mereka menggunakan cara yang tidak dibenarkan hukum.
Tekanan dan intimidasi yang dilakukan polisi berdampak pada keterangan Ariyanto saat dilakukan BAP. Ariyanto ditekan untuk mengakui tindakan penganiayaan terhadap Chandra Nelson. Ia pun dengan terpaksa mengakui telah memukul Chandra Nelson sebanyak 2 kali, padahal dalam persidangan ia mengaku hanya memukul Chandra 1 kali. Berbeda jawaban ini yang menjadi perdebatan di dalam persidang (27/1), hakim menanyakan kenapa pernyataan Ariyanto berbeda saat persidangan dengan BAP.
Oleh karena Ariyanto dalam pemeriksaan mengalami tekanan hingga siksaan secara fisik, M. Yahya Harahap dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan” menjelaskan (hlm. 137), bahwa jika suatu BAP adalah hasil pemerasan, tekanan, ancaman, atau paksa, maka BAP yang diperoleh dengan cara seperti ini tidak sah.
Dikutip dari Hukumonline.com, bisa saja hakim membatalkan dakwaan karena proses BAP nya tidak sah, hal ini disebut batal demi hukum.
Reporter: Achmad Rizki Muazam
Penulis: Achmad Rizki Muazam
Editor: Aulia Puspita Sari