Kilas Balik Tragedi 12 Mei dan Penyelesaiannya
Oleh : Achmad Rizki Muazam
1998 menjadi tahun yang banyak terjadi huru-hara di sana-sini. Sejak awal bulan Maret, jalanan banyak dipenuhi mahasiswa dan elemen pro-demokrasi lain yang menuntut Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatannya. Dan menuntut pemerintah untuk segera melakukan Reformasi akibat merebaknya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang membuat negara mengalami krisis moneter tak berkesudahan.
Dari berbagai macam huru-hara dan aksi demonstrasi menuntut kejatuhan Soeharto dan kroninya.
Salah satu aksi yang akan diingat oleh sejarah berlangsung pada Selasa 12 Mei 1998, yang pada hari ini tepat 21 tahun berlalu. Mahasiswa Trisakti memilih melakukan aksi di depan kampusnya sendiri di kawasan Grogol, Jakarta Barat. Dikutip dari catatan Kompas edisi 13 Mei 1998, cukup banyak massa aksi yang terlibat. Mulai dari mahasiswa, dosen, pejabat Fakultas dan Universitas, serta karyawan yang berjumlah sekitar 6000 orang. Setelah melakukan mimbar bebas di depan kampus, massa aksi berencana menuju gedung MPR/DPR. Mereka mulai berjalan ke keluar pintu gerbang kampus yang mengarah ke JL. Jenderal S. Parman.
Namun saat tiba di jalan raya, massa aksi mendapat hadangan dari pihak aparat yang terdiri dari anggota polisi dan tentara bersenjata lengkap. Perwakilan massa aksi melakukan negosiasi kepada aparat agar dibolehkan long march menuju MPR/DPR, namun upaya negosiasi gagal. Aparat tidak memperbolehkan massa melakukan long march dengan alasan menggangu ketertiban lalu lintas.
Hingga sore hari massa masih bertahan dari barikade aparat. Mendekati pukul 17:00 negosiasi tercapai bahwa mahasiswa dan aparat akan sama-sama mundur. Awalnya massa menolak, tapi kemudian menurut setelah dibujuk oleh seorang Dekan Fakultas Ekonomi dan Fakultas Hukum serta Ketua Senat Mahasiswa Universitas Trisakti. Massa pelan-pelan mau bergerak mundur.
Saat sedang mundur teratur, tiba-tiba muncul seseorang bernama Mashud. Dia mengaku sebagai alumni, lalu berteriak mengeluarkan kata-kata kotor ke arah massa. Massa sontak ingin mengamankannya karena ia dikira intel yang sedang memata-matai massa. Mashud kemudian bergegas lari menuju aparat sehingga memicu ketegangan antara aparat dan mahasiswa.
Ketegangan lain muncul sebab di antara barisan aparat ada yang meledek dan mentertawakan serta mengucapkan kata-kata kotor kepada mahasiswa. Sejumlah mahasiswa yang sedang mundur pun berbalik ke lokasi yang ingin menyerang aparat, namun bisa digagalkan oleh satgas mahasiswa Trisakti.
Tanpa diketahui apa pemicunya, aparat tiba-tiba menyerang mahasiswa dengan tembakan dan gas air mata. Rombongan mahasiswa pun panik dan berhamburan lari ke dalam kampus. Penembakan oleh aparat semakin membabi buta dan melibatkan sejumlah penembak jitu. Peluru karet maupun peluru tajam berhamburan.
Akibat dari kejadian tersebut, jatuh korban jiwa. Yang dilaporkan empat mahasiswa tewas dan banyak korban luka yang dilarikan ke RS Sumber Waras.
Tragedi Trisakti menelan nyawa empat orang yang namanya abadi hingga kini, yakni Elang Mulia Lesmana (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Arsitektur), Hafidhin Royan (Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Jurusan Teknik Sipil), Hery Hartanto (Fakultas Teknologi Industri), dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi).
Keadilan masih diperjuangkan hingga hari ini oleh para orang tua korban dan elemen masyarakat sipil yang peduli. Tiap Kamis, keluarga korban dan simpatisan masyarakat yang peduli dengan penegakan HAM mengenakan baju hitam sebagai tanda berduka cita dan menggelar aksi berdiam diri di depan Istana Negara. Tak hanya itu, keluarga korban bersama Kontras dan KOMNAS HAM juga melakukan upaya hukum untuk mendapatkan keadilan.
Penyelesaian Kasus Trisakti
Penyelidikan kasus ini menyeret enam terdakwa yang mendapatkan hukuman 2-10 bulan pada 31 Maret 1999. Tiga tahun kemudian, sembilan terdakwa lain disidangkan di Mahkamah Militer, yang kemudian dihukum 3-6 tahun penjara pada Januari 2002. Namun Komnas HAM menyebutkan bahwa terdakwa yang diberi hukuman hanya pelaku lapangan saja, dan bukan komandannya yang memberikan intruksi.
Dikutip dari BBC pada 12 Mei 2019, sebelumnya pada tahun 2000 DPR membentuk Pansus Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) atas desakan mahasiswa dan keluarga korban. Setahun kemudian, Pansus menyimpulkan bahwa tidak terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II. Pansus juga merekomendasikan penyelesaian melalui jalur Pengadilan Umum dan Pengadilan Militer.
Juli 2001, rapat paripurna DPR RI mendengarkan hasil laporan Pansus Trisaksi, Semanggi I dan II. Hasilnya tiga fraksi F-PDI P, F-PDKB, F-PKB menyatakan terjadinya kasus ini mengandung unsur pelanggaran HAM berat, namun tujuh fraksi lain F- Golkar, F- TNI/Polri, F-PPP, F-PBB, F-Reformasi, F-KKI, F-PDU menyatakan tidak terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus TSS.
Mahasiswa dan keluarga korban pun tidak puas. Pada 2001, Komnas HAM mulai melakukan penyelidikan kasus Trisakti, Semanggi I dan II dengan membentuk KPP HAM. Para mahasiswa pun membantu Komnas HAM untuk mengumpulkan bukti dan saksi kasus penembakan tersebut.
Menurut Haris Azhar, Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Hingga hari ini penyelesaian kasus Trisakti tidak berjalan karena orang-orang yang berkuasa, dalam hal ini pemerintah, tersandra oleh kepentingan dan negosiasi-negosiasi penjahat yang berada di lingkungan penguasa kelompoknya saja. Seharusnya yang menyelesaikan kasus ini adalah Jaksa Agung H.M. Prasetyo, tetapi Jaksa Agung tidak menjalankannya karena H.M. Prasetyo terlibat dalam politik kekuasaan sebagai orang dari Partai Nasdem. Kita ketahui bersama bahwa Nasdem saat ini berada dalam koalisi Jokowi, yang di dalamnya ada Wiranto mantan Jenderal pada saat 1998 dan Hendro Priyono yang terlibat dalam pelanggaran HAM.
Sejak awal Jokowi menjabat pada 2014 dia menyatakan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang akan diselesaikan oleh Jaksa Agung, namun hingga saat ini belum menemukan hasil apapun. Saat itu H.M. Prasetyo menjanjikan kepada masyarakat akan menyelesaikan kasus ini, yang akan dicarikan rumusannnya. Ada 10 berkas kasus pelanggaran HAM berat yang masuk ke Kejaksaan Agung, yang salah satunya ialah kasus Semanggi dan Trisakti. Namun berkas tersebut tidak berjalan dan tidak ditindak lanjuti.
Agak sulit jika berharap pada rezim yang sekarang ini, untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Karena banyak orang-orang di sekelilingnya yang terlibat dalam pelanggaran HAM. Sama halnya dengan Prabowo, jika dia menjabat sebagai Presiden, kita agak sulit berharap pada pemerintahannya karena ia pun terlibat dalam kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
”Kita harus menunggu 2024 untuk penyelesaian kasus ini, ada tidak rezim yang peduli nanti”, ujar Haris Azhar saat ditemui pada 10 Mei 2019 dalam acara malam peringatan 12 Mei di Trisakti.
Editor : Nurulita