Massa Aksi di Pekayon Bekasi, Mengalami Tindakan Represif
Keterangan Foto : Sejumlah massa berkumpul di depan kantor BPN Kota Bekasi, saat menyampaikan aspirasinya. Rabu, (11/9/2019). Sumber: dok/pribadi/Bahri
Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkomunikasi, dan mengeluarkan pendapat” serta Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, Pasal 2 ayat (1), mengutip “Setiap negara, perorangan atau kelompok, kebebasan berbicara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab demokrasi dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.
Rabu, 11 September 2019, kontribusi mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam Forum Korban Penggusuran Bekasi (FKPB) melakukan demonstrasi di depan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bekasi. Mereka menuntut agar BPN Kota Bekasi melakukan pemblokiran pengajuan sertifikat hak milik tanah, atas tanah sengketa di Kampung Poncol Bulak, Jalan Irigasi RT. 02, RW. 17, Jaka Setia, Kecamatan Bekasi Selatan.
Sengketa penggusuran tanah ini terjadi sejak tahun 2016, warga sekitar digusur oleh Pemkot Bekasi kota pada 2 September dan 26 Oktober 2016. Ada 133 Kartu Keluarga (KK) yang terkena dampak dari penggusuran tersebut. Sejak 20 tahun silam warga telah menempati tanah tersebut, dan tiba-tiba saja Pemkot melakukan penggusuran. Menurut Birre, mahasiswa yang melakukan advokasi atas penggusuran, daerah ini rawan dengan tindakan represif dan intimidasi dari preman serta pemerintah terhadap masyarakat dan mahasiswa.
Siang itu pukul sebelas, dengan jumlah massa 50 orang yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat berkumpul di depan kantor BPN. Mereka membawa spanduk, alat pengeras suara, dan perangkat lainnya. Massa berorasi silih berganti menyampaikan pendapat dan aspirasinya masing-masing. Aksi ini berjalan dengan tertib dan damai, hingga pukul satu siang massa diterima oleh perwakilan BPN untuk audiensi. Namun audiensi berjalan dengan alot dan tidak menemui titik terang.
“Audiensi cukup alot dan tidak menemui titik terang,” ujar Birre pada Kamis (12/9/2019).
Birre menceritakan, bahwa aksi berjalan dengan tertib dan damai hingga sore hari. Massa masih menunggu sampai pukul 6 sore, namun tidak ada kejelasan dari pihak BPN atas apa yang telah dituntutnya. Ketika massa masih bertahan di depan kantor BPN, pihak kepolisian Polres kota Bekasi memukul mundur massa agar membubarkan diri.
“Aparat kepolisian mulai memukul mundur, mulai melakukan tindakan represif kepada kawan-kawan,” kata Birre.
Sepuluh orang massa ditangkap oleh polisi, sedangkan empat orang lainnya mendapatkan perlakuan represif yang mengakibatkan luka memar.
Dari 10 orang yang ditangkap di antaranya adalah Rama, dari Aksi Pemuda Indonesia. Ia menceritakan saat sebelum penangkapan, dirinya dan massa yang lain sedang duduk-duduk di depan kantor BPN tepatnya pinggir jalan. Aksi yang dilakukan sudah selesai, tidak ada lagi yang orasi. Lalu, sekitar pukul 18.30 WIB polisi keluar dari dalam kantor, mereka mengingatkan massa untuk segera bubar dengan alasan mengganggu lalu lintas dan masyarakat.
Kemudian ia bersama massa lainnya, sempat meminta agar mereka diperbolehkan masuk ke dalam gerbang kantor supaya tidak mengganggu lalu lintas di pinggir jalan. Namun, Rama tidak diberi kesempatan untuk beranjak dari tempat duduknya. Dirinya langsung ditarik dan ditangkap oleh aparat. Ia juga dijambak, diseret dan ditarik hingga pakaiannya sobek.
Ketika diseret hingga ke mobil polisi sejauh 12 meter, mengakibatkan Rama mengalami luka-luka ringan. Lalu, dia dibawa masuk ke dalam mobil. Selain itu di dalam mobil, Ari teman Rama juga mengalami pemukulan.
“Dia mau mencari sepatunya, tapi aparat yang jaga di depan pintu. Gak tau kenapa, main hajar gitu aja,” ujar Rama saat diwawancarai di Polres Bekasi pada Kamis (12/9/2019).
Adit mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang aktif sebagai pers mahasiswa, juga menjadi korban penangkapan polisi. Pukul 4 sore ia dan temannya datang ke kantor BPN untuk melakukan liputan Aksi. Saat pukul 18.30, Adit menceritakan bahwa terjadi chaos. Lalu dia mengambil gambar dan mendekati bapak-bapak yang sedang terjatuh.
Ketika mengambil gambar, tiba-tiba dirinya mendengar suara, “Angkut-angkut..”, hingga akhirnya ia pun ditangkap, diseret serta dipukuli. Saat liputan Adit tidak membawa kartu pers, sehingga tidak dapat dilepaskan sampai ada bukti bahwa dirinya pers.
Dari 10 orang yang ditangkap, 9 di antaranya dijadikan tersangka dengan dikenakan KUHP Pasal 503 tentang Mengganggu Ketertiban Umum. Dengan ancaman pidana kurungan paling lama tiga hari atau pidana denda paling banyak Rp225.000,00.
Satu orang lainnya, yaitu Adit tidak dijadikan tersangka karena ia terbukti sebagai pers yang sedang melakukan liputan. Ia hanya dijadikan sebagai saksi dalam peristiwa ini.
Tindakan yang dialami oleh massa aksi bertentangan dengan aturan, padahal seharusnya kehadiran aparat kepolisian untuk menjamin dan memastikan terpenuhinya hak mahasiswa dan masyarakat yang menyampaikan pendapatnya di depan umum. Hal itu diatur dalam undang-undang nomor 9 tahun 1998, tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dan juga diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, nomor 9 tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Dalam pasal 14 ayat (1) disebutkan bahwa Polri betugas untuk memberikan perlindungan keamanan terhadap peserta penyampaian pendapat di muka umum.
Penulis : Achmad Rizki Muazam
Editor : Nurulita