Mengenal Abusive Relationship dari Sudut Pandang Komnas Perempuan

Mengenal Abusive Relationship dari Sudut Pandang Komnas Perempuan

Sumber gambar: Dok/LPM Progress/ Prameswari Eka Padi

 

LPM Progress - Menurut Komisi Nasional Perempuan, abusive relationship merupakan suatu bentuk kekerasan baik itu bersifat verbal seperti fisik maupun nonverbal seperti psikis, dan seksual atau dapat diartikan sebagai relasi-relasi yang menyebabkan seseorang merasa tidak nyaman. Hal ini disebabkan karena adanya tindakan intimidasi, direndahkan, diancam, dan sebagainya.

Abusive relationship terjadi karena salah satu pasangan memiliki sifat superior terhadap pasangannya. Menurut Alimatul Qibtiyah selaku Komisioner Komisi Nasional Perempuan, seseorang dapat memiliki sifat superior terhadap pasangannya karena adanya trauma masa lalu, budaya rape culture, budaya patriarki, penafsiran-penafsiran agama yang tidak benar. Alimatul Qibtiyah juga menambahkan, jika pelaku kekerasan adalah laki-laki dapat disebabkan karena adanya krisis maskulinitas, relasi kuasa, dan paparan media yang tidak mendidik.

"Contohnya, gender laki-laki pada budaya patriarki diharapkan harus mampu melindungi, mampu terlihat berkuasa, kemudian ini dilegitimasi oleh penafsiran-penafsiran agama Arrijalu Qowwamuna Alannisa, hadis yang selalu digunakan bahwa seandainya hamba itu boleh sujud maka saya perintahkan sujud istri pada suam. Itu merupakan ayat Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bukan ayat kekuasaan laki-laki atas perempuan, hadis yang sebenarnya tidak shahih tetapi powerful di masyarakat," ujar Alimatul Qibtiyah selaku Komisioner Komisi Nasional Perempuan saat diwawancarai melalui google meet (18/02).

Abusive relationship dapat terjadi tanpa memandang gender bagi pelaku maupun korban. Bahkan, abusive relationship juga dapat terjadi dalam hubungan keluarga yang nantinya hal itu akan berdampak pada anak. Menurut Komnas Perempuan, dampak yang ditimbulkan dari abusive relationship, yaitu dampak psikis berupa ketakutan, trauma, rasa khawatir, bahkan dapat memicu seseorang tersebut mengakhiri hidupnya.

"Jadi, dampaknya dari sangat ringan sampai sangat berat itu akan terjadi dari relasi yang abuse karena ini sangat tergantung dari situasi dan kondisi si korban. Dalam sebuah perilaku kekerasan terutama dalam kekerasan seksual itu kita kenal dengan tonic immobility atau kelumpuhan sementara,”tambah Alimatul Qibtiyah.

Dilansir dari data Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2021, jumlah korban sudah melapor atas tindak kekerasan yang dialami meningkat 50% dari tahun 2020, yakni sebanyak 338.496 kasus. Sedangkan data CATAHU 2022 Komnas Perempuan memperlihatkan kenaikan 83% kasus KBGS (Kekerasan Berbasis Gender Siber) dari tahun 2020 sebanyak 940 kasus menjadi 1.721 kasus pada 2021. Kasus KBGS didominasi oleh kasus cyber harassment, ancaman penyebaran foto atau video pribadi (malicious distribution), dan pemerasan seksual online (sextortion). Data tahun 2021 menunjukkan bahwa kelompok yang mengalami kekerasan tertinggi adalah perempuan dengan disabilitas intelektual, yakni sebanyak 22 kasus dan diikuti perempuan dengan disabilitas ganda sebanyak 13 kasus.

Alimatul Qibtiyah menyebutkan terdapat lima cara mengatasi abusive relationship, yaitu :

1. Jika terdapat relasi yang membuat tidak nyaman, maka segeralah menjauh dari relasi tersebut. Karena itu, pengetahuan tentang ciri-ciri abusive relationship sangat penting,

2. Memperbanyak pengetahuan dengan membaca dan masukkan ke dalam pikiran akan penafsiran ramah tentang perempuan,

3. Mitigasi resiko harus dimiliki seperti menyimpan kontak emergency lembaga layanan untuk kasus kekerasan,

4. Membawa alat bantu sebagai bentuk antisipasi kekerasan.

5. Memberanikan diri untuk melapor tindakan kekerasan agar tidak terulang dan mengasah kemampuan komunikasi asertif seperti “maaf saya tidak nyaman.”

Komnas Perempuan juga menambahkan ciri-ciri jika berada dalam abusive relationship, yaitu merasa tidak nyaman dengan relasi yang dimiliki, tidak dihargai, terlalu dikontrol atau posesif, dan tidak adanya keterbukaan satu sama lain. Jika terjadi kekerasan dalam keluarga, maka hal tersebut memiliki tiga indikator yaitu tidak adanya komitmen yang kuat, emosi yang kurang kuat dan tidak adanya gairah yang bagus.

Menurut data Komnas Perempuan, 80% korban tidak mau melapor atau angkat bicara karena faktor reviktimisasi dan tidak tahu harus melapor ke mana. Abusive relationship dapat dilaporkan pada lembaga layanan atau unit kerja yang telah ditunjuk institusi. Sebenarnya, melaporkan tindakan kekerasan merupakan salah satu cara untuk mengurangi dan menyelesaikan kasus-kasus kekerasan pada perempuan.

“Keburukan itu akan tumbuh subur bukan karena banyaknya orang buruk tapi karena banyaknya orang baik yang mendiamkannya,” ucap Alimatul Qibtiyah.

 

Penulis: Prameswari Eka Padi

Wartawan: Valensiya

Editor: Rahma Alawiyah