Pembangkangan Konstitusi oleh DPR Lewat Putusan MK yang Diabaikan
Sumber gambar: new.dpr.go.id
Di tengah kemelut politik yang semakin memanas, Indonesia kembali dihadapkan pada ancaman nyata terhadap demokrasi—bukan dari luar, tapi dari dalam, dari mereka yang seharusnya menjadi pelindung konstitusi dan hukum.
Jokowi, presiden yang seharusnya mengayomi rakyat dan menegakkan hukum, kini menjadi dalang di balik upaya kotor untuk mempertajam hegemoni politiknya melalui Pilkada Serentak 2024.
Di balik layar, Koalisi Indonesia Maju Plus (KIM+) yang gemuk dengan berbagai partai pendukung, bekerja tanpa henti untuk mengamankan kekuasaan bagi dinasti Jokowi, bahkan jika itu berarti mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan menginjak-injak demokrasi.
Pada 20 Agustus 2024, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan dua putusan penting yang seharusnya memperkuat keadilan dalam Pilkada. Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa ambang batas pengusungan calon kepala daerah harus berdasarkan perolehan suara sah dalam pemilu, bukan berdasarkan jumlah kursi di DPRD.
Ini adalah langkah maju untuk memastikan kompetisi yang adil, tetapi apakah pemerintah menghormatinya? Tidak. Jokowi, bersama para koalisinya di KIM+, justru berencana merevisi undang-undang (UU) Pilkada secara tergesa-gesa untuk mengakali keputusan MK ini.
Rapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berbau keadilan untuk rakyat biasanya membutuhkan waktu berbulan-bulan, sedangkan untuk hal ini, mereka akan mempercepat sebelum tiba pada masa pendaftaran di 27 Agustus nanti. Dan mereka menyegerakan pengesahannya pada rapat paripurna yang akan berlangsung pada Kamis, 22 Agustus 2024.
Mereka berencana menumpulkan keputusan yang seharusnya melindungi demokrasi demi satu tujuan: memuluskan jalan bagi Kaesang Pangarep, putra mahkota Jokowi, untuk menduduki jabatan Wakil Gubernur Jawa Tengah, meski ia belum memenuhi syarat usia pencalonan.
Tidak hanya itu, dalam putusan lainnya, Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah menegaskan bahwa usia calon kepala daerah harus dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan saat pelantikan. Putusan ini jelas menghalangi ambisi dinasti Jokowi. Namun, apakah itu menghentikan mereka? Tidak.
Mereka akan menggunakan segala cara, termasuk mengubah hukum secara instan untuk mengesampingkan keputusan MK dan menyingkirkan segala penghalang bagi Kaesang untuk melenggang ke kursi kekuasaan.
Putusan nanti juga berpotensi menciptakan puluhan kotak kosong di kontestasi Pilkada 2024 kali ini. Sungguh ini merupakan kecelakaan demokrasi yang sangat fatal.
Apa yang kita lihat sekarang adalah bukti bahwa Jokowi dan koalisinya tidak lagi peduli pada hukum dan konstitusi. Mereka tengah memamerkan kekuasaan yang eksesif, seolah-olah merekalah hukum itu sendiri. Mereka berusaha mengukuhkan tirani dan mengkonsolidasikan kekuatan elit politik hingga ke tingkat daerah.
Ini bukan lagi soal mempertahankan kekuasaan; ini adalah soal membangun dinasti, memperkuat cengkraman oligarki politik yang hanya melayani kepentingan mereka sendiri. Masyarakat Indonesia dihadapkan pada rezim yang semakin otokratis, yang siap mengorbankan segala sesuatu—termasuk demokrasi itu sendiri—demi melanggengkan kekuasaan mereka.
Mereka tidak hanya mencoba mengubah hukum, tetapi juga mengakali proses demokrasi dengan cara-cara yang licik. Salah satu contohnya adalah dengan mendominasi DPR untuk memborong dukungan koalisi gemuk partai politik, menutup ruang bagi kandidat alternatif, dan bahkan menciptakan kandidat boneka agar terlihat seolah-olah Pilkada berjalan dengan kompetisi yang adil.
Padahal, ini semua hanyalah sandiwara politik yang dirancang untuk menipu rakyat dan memastikan bahwa hanya mereka yang bisa menang.
Masyarakat Indonesia masih ingat bagaimana Pemilu 2024 diwarnai dengan manipulasi, pelanggaran hukum, dan etika yang terstruktur, sistematis, dan masif bukan? Maka Pilkada 2024 akan berjalan tidak jauh berbeda; fondasi demokrasi sedang dihancurkan secara terang-terangan oleh rezim yang haus akan kekuasaan.
Dengan mengubah syarat usia pencalonan kepala daerah, Jokowi dan para pendukungnya menunjukkan bahwa mereka siap menggunakan segala cara untuk memenangkan Pilkada, bahkan jika itu berarti mengkhianati konstitusi dan rakyat Indonesia.
Sejarah akan mencatat tindakan Jokowi sebagai bentuk pelecehan terhadap konstitusi yang lebih parah daripada yang pernah terjadi di era Soeharto.
Dalam upaya mempertahankan kekuasaan, Jokowi telah melampaui batas-batas moral dan hukum yang seharusnya menjadi fondasi sebuah negara demokrasi. Rakyat Indonesia harus menyadari bahwa diam dan pasrah adalah bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan para pendiri bangsa yang menginginkan negara ini bebas dari tirani dan oligarki.
Jika kita membiarkan ini terjadi tanpa perlawanan, maka kita telah memberikan restu bagi kelahiran sebuah dinasti politik yang akan membawa Indonesia kembali ke masa kelam otoritarianisme.
MK meskipun kerap dipertanyakan, masih berdiri sebagai benteng terakhir yang menguji undang-undang berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, fondasi yang seharusnya tak tergoyahkan.
Namun, ketika Mahkamah Agung (MA) mulai mencampuri urusan yang bukan wewenangnya, berlagak sebagai raja kecil yang bisa menyaingi MK, kita sedang menyaksikan pelecehan terang-terangan terhadap supremasi konstitusi.
Lebih kuat mana? Jelas MK yang menjadi pengadil sejati yang sedang berusaha memulihkan marwahnya kembali. Sedangkan MA, kini hanya akan menjadi alat mainan rezim.
Apalagi dengan pernyataan Bahlil Lahadalia di Munas XI Golkar soal "Raja Jawa" yang merupakan simbolisasi puncak dari arogansi kekuasaan yang sedang berlangsung.
Dalam pidatonya, Bahlil dengan pongah menyebut Jokowi sebagai "Raja Jawa” dan jangan coba-coba untuk berani melawannya, seakan-akan negara ini bukanlah negara republik yang berdiri di atas prinsip-prinsip demokrasi, melainkan kerajaan feodal yang dijalankan berdasarkan kehendak seorang tiran.
Ucapan ini tidak hanya menghina akal sehat, tetapi juga merupakan cermin dari obsesi kekuasaan yang tak terkendali, di mana loyalitas yang buta pada penguasa lebih diutamakan daripada keadilan dan kesejahteraan rakyat. Ucapan Bahlil tersebut bukan hanya sekedar ucapan, melainkan sebuah deklarasi bahwa demokrasi telah dikorbankan di altar kekuasaan Jokowi dan kroni-kroninya.
Melawan Jokowi dan kroninya merupakan langkah pertama untuk menyelamatkan demokrasi dan menjamin bahwa konstitusi kita tidak akan diinjak-injak oleh ambisi kekuasaan segelintir elit politik.
Dalam situasi seperti ini, sudah tidak ada pilihan lain selain melawan. Pembangkangan konstitusi yang dilakukan oleh Jokowi tidak boleh dibiarkan. Rakyat harus bangkit dan menolak upaya mereka untuk merusak demokrasi. Jangan biarkan rezim ini terus bertindak sewenang-wenang.
Dengan mengotak-atik konstitusi demi kepentingan pribadi, Jokowi bukan hanya mempermalukan bangsa ini di mata dunia, tetapi juga menginjak-injak darah para pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan kita.
Maka dari semua itu, maka lahirlah seruan pada tanggal 22 dan 23 Agustus 2024 agar Indonesia dapat menyaksikan gerakan besar-besaran yang melibatkan rakyat, mahasiswa, dan buruh dalam aksi massa yang dipelopori oleh Partai Buruh. Aksi massa ini menjadi penting karena ia adalah satu-satunya cara bagi rakyat untuk menunjukkan bahwa mereka tidak akan tinggal diam.
Aksi demonstrasi yang akan digelar pada Kamis, 22 Agustus 2024, di depan gedung DPR RI, dan Jumat, 23 Agustus 2024, di depan gedung KPU, menjadi puncak dari akumulasi ketidakpuasan rakyat.
Demonstrasi merupakan bentuk dari ekspresi ketidakpuasan dan sekaligus alat untuk mengembalikan kekuasaan ke tangan rakyat. Dalam sejarah Indonesia, aksi massa telah menjadi pilar penting dalam perubahan sosial-politik, mulai dari jatuhnya Orde Lama hingga Reformasi 1998.
Esensi dari aksi massa adalah bagaimana rakyat dapat menekan pemerintah dan elite politik untuk mendengarkan suara mereka. Dalam demokrasi yang sehat, aksi massa harus dilihat sebagai bagian dari dinamika politik yang wajar dan sah.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Buruh kini berdiri di garis depan sebagai benteng terakhir untuk melawan kekuatan-kekuatan gelap yang hendak menghancurkan demokrasi Indonesia. Dalam situasi ini, aksi massa bukanlah pilihan, tetapi kewajiban moral.
PDIP dengan basis massa yang kuat dan sejarah panjang dalam perjuangan politik Indonesia, kini memainkan peran strategis dalam mendorong masyarakat untuk bangkit. Bersama Partai Buruh, mereka menggalang kekuatan dari berbagai elemen masyarakat, termasuk buruh, mahasiswa, dan kaum intelektual, untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintahan yang dinilai semakin jauh dari aspirasi rakyat.
Dalam situasi di mana ketidakpuasan terhadap pemerintah mencapai titik didih, aksi massa menjadi alat yang paling efektif untuk menunjukkan bahwa rakyat memiliki suara.
Besok, kita akan melihat apakah aksi massa ini mampu menjadi katalisator perubahan yang dibutuhkan oleh negeri ini. Rakyat telah siap, PDIP dan Partai Buruh telah bergerak, dan kini tinggal menunggu apakah suara mereka akan didengar oleh mereka yang berkuasa.
Jika rakyat Indonesia tidak segera bangkit melawan pengkhianatan ini, maka kita semua akan menjadi budak di negeri sendiri, dikendalikan oleh keluarga kecil yang rakus akan kekuasaan dan harta, sementara demokrasi hanya akan menjadi mimpi buruk yang hilang ditelan sejarah.
Kita harus bersatu dan menyatakan bahwa kita tidak akan tunduk pada tirani. Kita harus menuntut agar Presiden dan DPR menghentikan pembahasan revisi UU Pilkada dan mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. Jika mereka tetap melanjutkan rencana jahat mereka, maka kita harus melakukan pembangkangan sipil dan memboikot Pilkada 2024. Ini bukan hanya tentang melindungi Pilkada; ini tentang melindungi masa depan demokrasi Indonesia.
Waktu untuk bertindak adalah sekarang. Jangan biarkan Jokowi dan kroninya merusak negeri ini dengan skema licik mereka. Demokrasi adalah milik kita, rakyat Indonesia, dan kita tidak akan membiarkan siapapun—tidak peduli seberapa kuat mereka—merampasnya dari kita. Melawanlah, atau kita akan kehilangan bangsa ini.
Penulis: Fatih Hayatul Azhar (Universitas Budi Luhur)
Editor: Naptalia