Sejarah Panjang Perjalanan Haji Masa Kolonial Belanda

Sejarah Panjang Perjalanan Haji Masa Kolonial Belanda

Sumber gambar : kabarpenumpang.com

Menunaikan ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap penganut agama Islam di seluruh penjuru dunia. Pelaksanaan ibadah haji memiliki ketentuan yang khusus, yaitu wajib menjalankannya apabila ia memiliki kemampuan yang cukup. Yang dimaksud dengan kemampuan yang cukup ialah mampu secara keuangan, kesehatan dan perbekalan lainnya. Sebab jika dilihat dari sisi keuangannya, perjalanan haji mengeluarkan biaya yang relatif tidak sedikit. Populasi umat Islam di Indonesia yang cukup dominan membuat pemerintah harus membuat regulasi yang berkaitan dengan ibadah haji itu sendiri.

Pada perkembangannya, ibadah haji di Indonesia memiliki sejarah perjalanan yang cukup panjang. Awal mulanya dilakukan pada zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara. Pelaksanaan haji dilakukan secara individu dan dikelola oleh kerajaan–kerajaan yang ada di Nusantara kala itu, sehingga peranan kerajaan memiliki arti yang cukup penting dalam regulasi perjalanan haji di Nusantara. Keterbatasan kapal yang tersedia dan juga biaya yang dikeluarkan relatif banyak membuat pelaksanaan haji hanya bisa dilakukan oleh segelintir orang saja.

Haji Masa Kolonial Belanda

Berdasarkan peraturan pemerintah kolonial yang tertuang dalam Staatsblad Van Nederlandsch-Indie 1859 No 42, kebijakan ini memuat perihal bahwa calon jemaah haji harus memiliki bekal yang cukup, dan memiliki surat izin haji dari penguasa setempat serta adanya “Ujian Haji” bagi para jemaah yang baru pulang dari Makkah guna memperoleh sertifikat. Apabila tidak lolos dari pelatihan maka akan dikenakan denda. Langkah ini dilakukan sebagai bentuk kewaspadaan pemerintah kolonial Belanda, apakah masyarakat pribumi benar-benar pergi ke Makkah untuk haji atau bukan.

Pada awal abad 19, regulasi haji masa penjajahan Belanda erat kaitanya dengan unsur politik. Menurut jurnal yang ditulis oleh Lesi Maryani dan Andriansyah dengan judul “Pelaksanaan Ibadah Haji Masa Hindia Belanda: Tinjauan Kritis Terhadap Pemikiran C. Snouck Hurgronje”, munculnya kebijakan haji sendiri mulai diberlakukan ketika pemerintah kolonial Belanda merasa keberadaannya akan terancam. Banyak orang setelah melakukan ibadah haji menjadi pelopor pembaharu dalam bidang keagamaan. Mereka tidak segan berbeda sudut pandang mengenai kebijakan yang diterapkan oleh kolonial Belanda.

Semakin banyaknya masyarakat pribumi yang mulai menunaikan ibadah haji, pemerintah kolonial mulai timbul kekhawatiran. Pasalnya seseorang yang telah menunaikan ibadah haji dari Makkah mereka mendapatkan wawasan keislaman dari berbagai penjuru dunia dan semakin eratnya persaudaraan antar sesama muslim. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah kolonial mulai membatasi haji dan sangat waspada terhadap masyarakat pribumi yang pulang dari Makkah.

Rute Pelayaran Haji Masa Kolonial

Selain itu, jika dilihat dari rute pelayaran haji masa kolonial Belanda, tidak akan terlepas dari rute pelayaran perdagangan yang dilakukan pada abad 16. M. Dien Madjid dalam bukunya "Berhaji di Masa Kolonial" menerangkan, jemaah haji Nusantara pada abad ke-17 umumnya menumpangi kapal-kapal dagang milik orang Arab atau India. Kebanyakan armada berlabuh di Temasek (Singapura) atau Penang sehingga mereka harus menuju ke sana terlebih dahulu. Di kedua tempat itu sudah terdapat kapal-kapal khusus semacam embarkasi bagi jemaah haji. Jalur yang dilewati biasanya hanya sanggup menyusuri garis pantai saja, dan bergerak mengikuti arah mata angin. Lama perjalanannya bisa menempuh sampai enam bulan. Waktu enam bulan tersebut digunakan oleh para calon jemaah haji untuk berdagang dan bertani di sekitaran wilayah embarkasi untuk menambah perbekalan selama ke Makkah.

Penulis: Wahid Abid

Editor: Harry Wijaya