Tadinya Aku Ingin Mati Sebelum Membaca Buku ‘I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki’
Judul : I Want To Die But I Want To Eat Ttekpokki
Penulis : Baek Se Hee
Penerbit : Penerbit Haru
Cetakan : Pertama, Agustus 2019
Jumlah halaman: 236 halaman
ISBN : 978-623-7351-03-0
Di awal bulan Juni 2021 lalu, aku merasa sangat biasa saja. Tidak ada hal yang spesial dalam diriku. Pikiran seperti “aku bisa apa dan ingin menjadi apa” selalu hadir setiap hari. Awalnya muncul perasaan bahwa mungkin diriku hanya sedang merasakan Quarter Life Crisis (QLS). Tapi semakin lama dipikirkan, ada suatu hal yang kosong dalam diriku. Aku semakin tidak menyukai diri sendiri karena tidak bisa mengenali siapa diriku, apa yang sebenarnya kurasakan, dan perasaan tidak bahagia walaupun aku sedang tersenyum dan tertawa. Aku merasa aneh ketika ada orang lain berkata “ingin menjadi seperti diriku”, sementara aku selalu merasa bukan apa-apa ketika melihat temanku melakukan sesuatu. Aku selalu merasa cemas walaupun itu hal kecil sekalipun, yang pada akhirnya aku hanya merasa tidak berguna dan sebaiknya mati saja.
Siang itu di hari Selasa ketika jam perkuliahanku libur, entah mengapa aku ingin pergi ke toko buku. Aku tidak tahu ingin membaca apa, karena sejujurnya memang tidak ada buku yang ingin kubaca pada saat itu. Sesampainya di toko bukupun aku hanya berkeliling dan menikmati jajaran buku yang tersusun rapih pada rak-raknya. Kemudian aku menghampiri rak yang bertemakan “Self Improvement”. Aku membaca beberapa judul buku dan mataku tertuju pada sampul pink mencolok dengan tulisan Korea “I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki”, begitulah yang tertulis di sampul buku tersebut. Aku membalikkan buku tersebut dan membaca sinopsis dari buku itu.
Aku: “Bagaimana caranya agar bisa mengubah pikiran bahwa saya ini standard dan biasa saja?”
Psikiater: “Memangnya hal itu merupakan masalah yang harus diperbaiki?”
Aku: “Iya, karena saya ingin mencintai diri saya sendiri”
Tanpa pikir panjang, aku membawa buku itu ke kasir sambil memikirkan apa maksud dari “I want to die” dalam judul buku tersebut. Di perjalanan pulang, aku melakukan sedikit riset di google mengenai buku yang baru saja kubeli. Buku ini berisi tentang diary penulis yang mengalami Distimia atau Persistent Depressive Disorder. Hal ini adalah bentuk kronis (jangka panjang) dari depresi. Diary ini bukan hanya sekedar diary dengan tulisan “dear diary” pada awal kalimat seperti pada umumnya. Namun, penulis benar-benar menjabarkan percakapan yang ia lakukan dengan terapisnya selama menjalani sesi konseling. “Hmmm.. menarik”, pikirku.
Saat aku memulai membaca buku itu, kepalaku terasa pusing dan hatiku terasa sakit ketika membaca kalimat “Padahal aku hidup dengan biasa-biasa saja, tetapi mengapa hatiku terasa kosong?” aku juga merasakan hal yang sama. Kalimat ini sederhana namun memiliki arti yang sangat dalam. Semakin banyak kubaca buku ini aku merasa beberapa hal yang dirasakan penulis juga kurasakan. Bukan artinya aku mendiagnosis diriku juga mengalami distimia. Tidak, tentu saja aku tidak mengalaminya, kita tidak boleh melakukan self diagnose hanya karena kita merasakan hal yang sama.
Buku Baek Se Hee membuatku menjadi sering mempertanyakan diriku sendiri. “Apakah aku bahagia dengan hidupku?”, “Apakah aku benar-benar bahagia dengan apa yang kulakukan?”, “Apakah aku baik-baik saja ketika aku berpura-pura?”, “Apakah kepura-puraan itu sebanding dengan apa yang kurasakan?”, dan “Bagaimana pandangan orang lain ketika mereka melihat sisi gelapku atau aku yang sebenarnya?”. Mungkin ini salah satu hal yang membuat buku ini menjadi best seller di Korea Selatan, yaitu dapat membuat kita lebih banyak memperhatikan diri sendiri daripada biasanya. Tidak cuma itu, sampulnya yang menarik dan pembahasan yang jarang dibahas juga menjadi salah satu kelebihan dari buku ini. Ketika membaca percakapan antara Baek Se Hee dan psikiaternya, kita tidak hanya membahas depresi itu seperti apa tapi juga hal-hal yang membuat depresi itu muncul dan mengapa bisa berkelanjutan. Aku jadi tahu dan mengerti bagaimana sesi konseling berlangsung. Baek Se Hee benar-benar menggambarkan bagaimana sesi konseling yang sebenarnya. Situasi percakapan yang tidak menekan pasien dan terkesan seperti berdiskusi. Dari sini juga aku menemukan beberapa istilah psikiatri melalui percakapan mereka. Seperti Akathisia yang artinya gejala tidak bisa diam di mana seseorang tidak bisa duduk dengan tenang yang ditunjukkan dengan kegelisahan menggerak-gerakkan kaki saat duduk atau berdiri. Ada juga istilah Histrionic artinya gangguan kepribadian yang ditandai oleh kecenderungan melebih-lebihkan ekspresi emosional untuk menerima perhatian dari orang lain.
Ada banyak sudut pandang menarik karena diagnosis-diagnosis yang diberikan psikiater tidak hanya sekedar kata-kata, melainkan dirasakan melalui perasaan. Dari beberapa percakapan yang dilakukan mereka, membantu siapapun yang membaca untuk tidak terlalu keras terhadap diri sendiri. Untuk tidak terus menerus mempertanyakan diri sendiri dengan cara yang salah.
Membaca dan mempertanyakan diri sendiri membuatku lebih menyadari apa yang kurasakan, tentunya dengan cara yang lebih baik. Yaaa, walau kuakui buku ini sedikit membosankan dengan percakapan-percakapan yang monoton dan kurangnya basa-basi. Terkadang percakapan yang terlalu random membuatku berpikir “Maksudnya apa sih?”. Tapi, aku dapat membaca buku ini hingga habis, selamat untuk diriku! Tapi, aku cukup kecewa dengan akhir cerita ini, di mana ternyata harus bersambung ke buku keduanya. Aku bahkan tidak menemukan korelasi antara judul buku dan isi yang kubaca. Click bait, mungkin.
Secara keseluruhan, dari banyaknya ketidaksempurnaan yang dialami oleh penulis membuatku tidak ingin menyerah terhadap diriku sendiri. Aku ingin melanjutkan hidupku sambil menangis atau tertawa. Aku ingin mengalami banyak kegagalan dan bangkit berkali-kali untuk tahu bagaimana aku akan terbentuk. Sejujurnya, aku sangat penasaran bagaimana aku di masa depan. Itu menjadi alasan mengapa hingga kini aku masih hidup. Aku harap aku diberikan sedikit spoiler tentang masa depanku.
Penulis: Mutiara Puspa Rani
Editor: Nabila