
Teruntuk Para Korban dan Penyintas Kekerasan Seksual Percayalah Kamu Tidak Sendirian
Sumber Gambar : istockphoto.com
LPM Progress - Sejak tahun 2019 hingga 2021, perkenalan dengan dunia kekerasan pada Perempuan menjadi satu titik balik konstruksi sosial dalam pikiran saya. Berkegiatan di sebuah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) menjadi pencerahan tersendiri untuk saya dalam mengimplementasikan inklusivitas dan perspektif gender. Barangkali, cita-cita kesetaraan itu telah lama ada dalam pola pikir saya, tetapi belum menemui titik kulminasinya. Memasuki LBH dan menjalani pelatihannya tentang perspektif gender membuat saya menyadari dan insaf atas banyak pola pikir yang masih tersesat. Dalam tulisan ini, saya hanya ingin memberikan sebuah pesan untuk para korban dan penyintas Kekerasan Seksual (KS) atau jenis kekerasan pada Perempuan dan bentuk kekerasan lainnya.
Rabu (18/12), dalam sebuah pertemuan antara pihak Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) dan Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Progress, seperti deja vu pada beberapa tahun yang lalu. Pada pertemuan itu, saya hanyalah sebagai Dewan Redaksi dan mendampingi kawan-kawan LPM Progress dalam agenda pembahasan terkait dengan kesalahan prosedural Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) di lingkungan kampus Unindra terhadap satu kasus KS. Para pembaca bisa membaca artikel tersebut berjudul Modus Kating Cabul, Mahasiswi Baru Unindra Alami Kekerasan Seksual, dalam hal penulisan artikel tersebut memang belum dapat dikatakan sempurna, namun kami meyakini bahwa karya jurnalistik terbaik adalah karya yang hadir untuk menjadi corong bagi suara yang terpinggirkan dan mencari keadilan.
Kasus KS yang kembali muncul menjadi catatan tentang upaya pencegahan yang perlu ditinjau pelaksanaannya. Buruknya penanganan kasus KS menjadi urgensi yang penting untuk didahulukan. Karena berdasarkan pernyataan sikap LPM Progress di Instagram dan pertemuan yang saya hadiri, dapat menjadi jelas dan terang benderang bahwa dosen, jajaran Rektorat, serta Satgas PPKS belum memahami prosedur penanganan KS. Pemanggilan sepihak dan upaya mendudukkan penyintas dengan pelaku dalam 1 ruang yang sama–upaya untuk mendamaikan, serta pernyataan yang membuat penyintas merasa bersalah karena kasus yang dialaminya, justru menempatkan penyintas seperti pelaku.
Kamu Tidak Sendirian!
Tanpa pendamping, penyintas terus ditanya mengenai kasusnya dan mendengarkan pernyataan yang justru membuatnya seperti pelaku serta harus ikut untuk memikirkan masa depan pelaku. Ironinya, pernyataan tersebut keluar dari jajaran kampus yang seharusnya mampu memberi rasa aman, nyaman, dan percaya. Hingga menurut Kepala Program Studi Bimbingan Konseling (Kaprodi BK), penyintas mengaku bersalah karena telah bercerita pada orang yang salah. Dalam pertemuan Rabu itu, jajaran Rektorat kompak menyalahkan membesarnya kasus ini, karena publikasi artikel LPM Progress. Seperti biasa, kambing hitam terus dicari dalam setiap masalah untuk dijadikan tumbal. Bukannya berpikir tentang cara penanganan kasus KS, lebih sibuk mencari cara untuk mencari siapa yang harus disalahkan.
Jika penyintas membaca ini, harus saya katakan “Kamu tidak bersalah atas membesarnya kasus ini, kamu bukan pelaku yang membuat nama seseorang rusak atas apa yang telah kamu alami, kamu juga tidak memiliki tanggung jawab terhadap masa depan pelaku dan kamu tidak sendiri dalam menghadapi ini semua.”
Saya dan semua orang yang percaya bahwa perempuan memiliki hak yang setara dan membenci sikap objektivitas. Perempuan selalu ada dalam satu barisan dalam kasus penyintas KS. Bahkan jika pertarungan panjang dalam mendapatkan keadilan itu diharuskan ada, maka pertarungan-pertarungan panjang seperti ini akan selalu muncul. Janganlah salah memilih siapa kawan dan lawan dalam kasus yang sedang kamu hadapi. Sejak tahun 2020 hingga 2021, kasus KS di Unindra tidak pernah mendapatkan penanganan yang serius. Pihak kampus selalu mencari jalan belakang untuk menemui penyintas, tetapi justru membiarkan pelaku menghilang. Apa kabarnya kasus predator seksual tahun 2020 yang sempat viral di Instagram dan pelakunya mahasiswa DKV tahun 2015?
Jalan Panjang Mencari Keadilan
Penyintas KS sering menghadapi kenyataan bahwa kasusnya merupakan kesalahannya sendiri. Para pelaku reviktimisasi –menyalahkan korban yang membuat korban merasa bersalah, selalu menggunakan dalih “saling setuju karena membalas chat”, “menggunakan pakaian terbuka”, atau hal-hal yang menyangkut pribadi lainnya. Padahal kasus KS bukan perihal ada atau tidaknya stimulus dari luar. Karena jika diperumpamakan seperti itu, maka manusia adalah hewan yang hanya memiliki nafsu dan tidak berakal.
Sepertinya sangat kuno menjadikan Budaya Patriarki sebagai alasan utama terkait ketidakadilan berbasis gender –kekerasan seksual termasuk dalam jenis ketidakadilan berbasis gender, tetapi begitulah kenyataannya. Berangkat dari pernyataan menyudutkan terkait masa depan pelaku, orang yang berbicara seperti itu tidak memedulikan bagaimana Nasib penyintas yang akan terus mengingat kasusnya seumur hidup. Oknum yang berbicara tentang masa depan pelaku juga tidak sadar bahwa pernyataannya memberi ruang dan dukungan pada pelaku. Sedangkan, penyintas mengalami pergulatan batin, karena dianggap bertanggung jawab atas masa depan pelaku.
Bagi penyintas KS, bercerita adalah sesuatu yang sangat sulit dilakukan. Bahkan apa yang dialami oleh penyintas tidak dapat diarahkan pada siapa dia harus bercerita. Karena pada dasarnya bercerita adalah caranya untuk mengurai tekanan dari apa yang dialami. Kesulitan seperti itu yang membuat kasus KS baru diketahui dalam jangka waktu yang lama setelah kejadian. Ini bukan hanya keberanian, tetapi tentang apakah dia ingin mengingat pengalaman buruk yang didapatkan dan berpikir apakah akan ada orang yang mendukungnya.
Kini jalan panjang itu kampus yang menentukan, jika kampus tidak dapat memberikan contoh, maka di masa depan kasus bisa saja Unindra tidak memiliki ruang aman dan korban KS enggan bercerita karena budaya yang tidak memihak korban terus dipelihara.
Penulis : Yazid Fahmi
Editor : Arriel Ahmadeuz K