Apa itu Post Power Syndrome ?
Sumber gambar: Ilustrasi oleh Pragha Mahardhika T
Apakah kalian tahu?
Ada sebuah sindrom yang dapat menyerang sebuah kondisi psikologis seseorang ketika turun jabatan atau kehilangan kekuasaan, baik dalam lingkup perusahaan maupun lingkup keorganisasian. Umumnya, sindrom ini mudah menyerang kepada mereka yang tengah pensiun dini dan terpaksa harus kehilangan jabatannya, lantaran masa kepemimpinannya telah usai sehingga digantikan oleh orang lain.
Seseorang yang mempunyai latar belakang seperti ini sangat bangga atas kekuasaan dan wewenangnya, karena memiliki privilege untuk dapat mengatur bawahannya sesuai dengan perintah dan arahan orang tersebut. Ketika masa jabatannya telah selesai atau pensiun, kondisi ini akan menjadikan orang tersebut rentan terkena sindrom yang bernama Post Power Syndrome.
Banyak penjelasan psikologi mengenai sindrom ini dari sebuah kondisi tersebut. Namun tak sedikit pula yang masih kebingungan apakah perilaku pasca pensiun itu bisa menyebabkan sebuah peralihan kondisi emosional dan perilaku.
Melansir dari laman ui.ac.id, dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di Auditorium Gedung ILRC Lt.2 Universitas Indonesia. Salah satu Dosen Fakultas Psikologi yakni Dra. Siti Dharmayanti Bambang Utoyo, M.A, Ph.D berpendapat bahwa,
“Pensiun adalah masa di mana terjadi perubahan yang sangat besar dalam diri kita. Jika kita tidak segera mempersiapkan diri, yang pertama kita bisa mengalami depresi. Dan yang kedua bagi orang yang memiliki jabatan dapat menimbulkan Sindrom Pasca Kuasa atau Post Power Syndrome,”
Ada 3 indikasi dari gejala seseorang tengah mengidap Post Power Syndrome, meliputi kondisi fisik, emosional, dan perilaku.
Gejala fisik yang terjadi misalnya seseorang menjadi mudah sakit kepala, layu dan tidak bersemangat. Sementara dari segi emosional, seseorang tersebut menjadi mudah tersinggung, pemarah, merasa tidak dibutuhkan, bahkan hingga depresi. Sedangkan perubahan dari kondisi perilakunya antara lain menjadi pendiam dan suka menyendiri. Begitupun ada pula yang melakukan hal sebaliknya, yaitu dengan membanggakan masa-masa kepemimpinannya.
Adapun cara merelaksasi dari sindrom ini, orang-orang di sekelilingnya dapat membantu dengan mengajaknya berkumpul, berinteraksi, serta mengingatkannya pada rencana-rencana lama yang ia punya, yang mana belum sempat ia kerjakan. Dalam kondisi ini juga sebaiknya kita tidak melakukan hal sebaliknya seperti dengan menjauhkannya. Karena peran kerabat atau keluarga sangat berpengaruh terhadap kondisi emosionalnya.
Adapun cara lain yang dapat dilakukan misalnya dengan memberi pengertian tanpa menyinggung posisi orang tersebut yang telah berubah, kemudian mendekatkan diri kepada keluarga dan relasi-relasi lamanya.
Beberapa upaya tersebut bisa dilakukan agar sesorang yang tengah ada kondisi tersebut bisa lebih beradaptasi dengan hal-hal baru dan bisa menerimanya.
Penulis : Pragha Mahardhika T
Editor: Fitriyatul Hasanah