Jalan Masih Panjang, Kekerasan Seksual pada Perempuan
Angka tindakan kekerasan seksual dari tahun ke tahun masih sangat tinggi. Data Komisi Nasional (Komnas) perempuan menunjukan pada tahun 2014, tercatat 4.475 kasus kekerasan seksual terjadi pada kaum hawa, tahun 2015 tercatat 6.499 kasus, dan tahun 2016 terjadi sebanyak 5.785 kasus.
Berkaitan dengan kekerasan seksual pada kaum hawa, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta menyelenggarakan launching film “Jalan Masih Panjang”, pada tanggal 13 Juli 2019 lalu. Film yang bercerita tentang perjalanan tiga orang perempuan yang mencari keadilan bersama LBH APIK Jakarta, yaitu Pelangi, Matahari, dan Isma Gunawan.
Film ini dibuat dalam rangka memberikan pandangan pandangan baru kepada masyarakat tentang sulitnya perjuangan seorang penyintas untuk mendapatkan keadilan dan keluar dari trauma. Selain itu, harapannya film ini akan menginspirasi korban kekerasan penyintas lainnya, bahwa keadilan untuk mereka sangat mungkin didapatkan. Kita bisa lihat dalam film ini terobosan-terobosan aparat yang dilakukan aparat penegak hukum, sehingga keadilan dapat diraih.
Kisah pertama tentang Pelangi, dia merupakan korban pelecehan seksual yang terjadi di halte busway dengan pelaku 4 orang petugas Transjakarta. Pelangi bersama keluarga melaporkan kasus pelecehan seksual ini ke kantor pusat Trans jakarta dan kantor polisi. Dalam menjalani pemeriksaan Pelangi kerap mendapatkan victim blaming (menyalahkan korban) dari pelaku. Pelaku justru mengatakan alasan melakukan pelecehan disebabkan kesalahan korban menggunakan pakaian yang seksi.
Dengan perjuangan yang dilakukan Pelangi dalam mencari keadilan, pelaku dikenai hukuman 1 tahun 6 bulan penjara dan dipecat dari pekerjaannya. Ini merupakan praktik baik, karena pelaku pelecehan pada umumnya hanya divonis hukuman percobaan dan tidak dipenjara.
Kisah kedua bercerita tentang Matahari. Matahari adalah perempuan penyandang disabilitas intelektual yang berusia 24 tahun, namun secara mental dia seperti berusia 12 tahun. Matahari merupakan korban pemerkosaan oleh gurunya sendiri yang merupakan Wakil Kepala Sekolah Luar Biasa. Matahari mengalami pemerkosaan lebih dari satu kali hingga hamil dan melahirkan.
Pihak sekolah sudah mengetahui hal tersebut, akan tetapi ditutup-tutupi demi menjaga nama baik sekolah. Mereka mengatakan sudah mengeluarkan pelaku, namun keluarga Matahari tetap meminta pertanggung jawaban dari pelaku. Untuk mencari keadilan, keluarga Matahari melaporkan hal tersebut ke polisi.
Setelah melalui proses persidangan, hakim memutuskan terdakwa dijatuhi hukuman 9 tahun penjara. Yang menarik dari kasus ini ialah ketika hakim memutuskan sidang di ruang perpustakaan, majelis hakim melepas atribut persidangan, menggunakan bahasa daerah yang mudah dipahami korban, serta terdakwa dikeluarkan dari ruang sidang dan tidak dipertemukan dengan Matahari. Hal ini dilakukan agar Matahari merasa nyaman dan ingin bercerita.
Terakhir ada kisah Isma Gunawan (66 tahun), seorang Ibu rumah tangga yang pernah menjadi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan berakhir dengan perceraian jauh sebelum Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU-PKDRT) disahkan. Kini, Isma Gunawan menjadi salah satu paralegal LBH APIK Jakarta yang mendampingi kasus-kasus di komunitasnya. Pada tahun 2016 beliau mendampingi 40 kasus kekerasan terhadap perempuan di Tangerang. Motivasinya bergabung menjadi paralegal LBH APIK Jakarta yaitu agar tidak ada lagi perempuan yang mengalami KDRT seperti dirinya.
Perjuangan Pelangi, Matahari, dan Isma Gunawan tidaklah mudah, tetapi semangat mereka sangat menginspirasi. Dimana kita ketahui bahwa vonis yang dijatuhkan pada pelaku tidaklah setimpal dengan trauma yang ditimbulkan, sehingga saat ini korban masih trauma ketika melihat sesuatu yang dapat mengingatkan pada kejadian yang dialaminya.
Di akhir film dikisahkan bagaimana penyintas LBH APIK Jakarta memerankan pementasan teater bertajuk “Ode Tusuk Konde” yang bercerita tentang bagaimana penyintas saling menguatkan dan berbagi. Pementasan terakhir ini juga bagian dari trauma healing atau pemulihan trauma bagi penyintas.
Kartika seorang paralegal LBH APIK perempuan yang berusia 32 tahun, juga merupakan salah satu korban pelecehan seksual ketika usianya masih 6 tahun. Pada waktu itu ia tidak berani untuk menceritakan pengalaman buruk yang ia alami hampir 26 tahun lalu. Pada saat itu ia merasa seperti ada amarah yang terpendam. Ada rasa depresi, anxiety atau kecemasan yang tidak bisa dijelaskan dari mana rasa itu datang.
Namun, pada saat dirinya menemukan teman-teman aktivis dan penyintas lainya, ia merasa bertemu dengan orang-orang yang tepat, yang memberi ruang aman untuk ia bisa bercerita. Kartika merasa ada beban yang terangkat setelah ia mulai berani bercerita dan dibantu dalam proses pemulihan.
Untuk bisa berbicara pengalaman tersebut butuh waktu, maka dari itu ia pun tidak pernah mau menghakimi orang yang masih belum berani untuk bercerita. Karena memang berat, butuh waktu dan pengetahuan untuk bisa mengungkapkan kejadian yang pernah korban rasakan.
Yang diharapkan Kartika dari lingkungan sekitar adalah belajar tentang apa itu kekerasan seksual dan juga mulai menghargai satu sama lain, terutama pada korban pelecehan seksual. Dan pesan untuk penyintas, “Kamu tidak sendiri, jangan takut karena pasti akan ada orang di sekitar kamu yang mendengarkan pengalaman buruk yang pernah kamu alami.”
Penulis : Erliana
Editor : Nurulita