Jika Video Seksual Milik Pribadi Tersebar, Harus Apa?

Jika Video Seksual Milik Pribadi Tersebar, Harus Apa?

Ilustrasi pornografi digital. Sumber: Unsplash.com

 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pornografi berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu berahi, atau bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu berahi dalam seks.

Di era serba digital, saat ini konten pornografi mudah sekali dijumpai terutama pada platform Twitter. Hal-hal berbau seksualitas memang akhir-akhir ini mudah sekali untuk mencuat ke publik, lalu banyak sekali komentar-komentar berupa victim blaming yaitu sebuah tindakan yang bersifat menyalahkan dan mengakibatkan sebuah kerugian kepada korban.

Tersebarnya video syur di media sosial menimbulkan banyak perdebatan dan pertanyaan, salah satunya adalah bagaimana caranya hal tersebut bisa mencuat ke publik? Namun, perlu diingat bahwa video yang konteksnya untuk kepentingan pribadi tidak dapat dipidanakan.

Pada pembuatan video pornografi, dimana pria dan wanita saling memberikan persetujuan untuk merekam video seksual mereka lalu video atau foto tersebut hanya digunakan untuk kepentingan sendiri—sebagaimana dimaksud dalam pengecualian yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, maka tindakan pembuatan dan penyimpangan yang dimaksud tidak termasuk dalam ruang lingkup “membuat” sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut.

Sedangkan, dalam hal pria atau wanita melakukan pengambilan gambar atau perekaman hubungan seksual mereka tanpa diketahui oleh wanita atau pria pasangannya atau tanpa persetujuan, maka pembuatan video tersebut melanggar pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Persetujuan (consent) merupakan bagian yang sangat vital dalam menentukan adanya pelanggaran atau tidak.

 

Baca juga: Anonymous Chat, Channel Telegram yang Disalahgunakan Untuk Pelecehan Seksual

 

Dunia maya sempat dibuat gempar pada tahun 2010 saat video pribadi yang melibatkan selebritis Ariel Noah, Cut Tari, dan Luna Maya. Kasus tersebut berakhir saat Ariel ditetapkan sebagai tersangka akibat terbukti dengan sengaja membantu penyebaran serta membuat dan menyediakan pornografi.

Lalu bagaimana ketika ada sebuah video porno yang berselewengan namun diunggah oleh orang lain? Penyebaran konten intim non-seksual atau non-consensual dissemination of intimate images (NCII) menjadi fenomena yang happening dan termasuk sebagai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).

Tekanan pelaku terhadap penyintas untuk menyebarkan video porno tersebut memiliki beberapa motif dasar pelaku untuk menyebarkannya contohnya adalah sakit hati terhadap korban atau  hal lain yang membuat penyintas harus mau menuruti apa mau pelaku (eksploitasi). Lalu apa yang harus dilakukan penyintas ketika mendapati hal tersebut?

Pada buku panduan yang berjudul “(Diancam) Konten Intim Disebar Aku Harus Bagaimana?” yang disusun oleh Safe Net dan kolektif advokat untuk keadilan gender, berisikan hal-hal mengenai penjelasan dan hal-hal yang harus dilakukan ketika mengalami bentuk KBGO.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan penyintas ketika terjadi adanya penyebaran konten intim non-konsensual walaupun tidak memiliki solusi yang tunggal, dikarenakan konteks dan situasi yang dihadapi korban berbeda, namun secara umum ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu :

  1. Menyimpan barang bukti bisa dengan cara screenshot, link atau tautan yang digunakan pelaku untuk melakukan tindak kekerasannya, direkomendasikan untuk menyimpan barang bukti dalam bentuk secara kronologis;
  2. Memutuskan komunikasi dengan pelaku bisa dengan cara memblokir pelaku atau melaporkan akun pelaku;
  3. Melakukan pemetaan risiko tujuannya untuk mencari tahu kebtuhuan utama dan hal lain yang bisa diupayakan untuk antisipasi selanjutnya;
  4. Melaporkan platform digital, baiknya pelaporan ini dilakukan setelah menyimpan barang bukti.

Selain itu, ada 3 proses yang dapat ditempuh untuk memproses pelaku di antaranya :

  1. Mediasi (non-pidana) yaitu proses berunding dengan pelaku untuk membuat kesepakatan yang dibantu oleh mediator;
  2. Somasi (non-pidana) yaitu surat peringatan yang dapat dikirimkan kepada seseorang agar ia memenuhi kewajiban tertentu;
  3. Pelaporan ke polisi (pidana) yang memiliki 3 tahap: pelaporan, penyelidikan, dan penyidikan.

 

Tidak sedikit para penyintas yang belum mengetahui langkah-langkah untuk melakukan pelaporan ketika mendapatkan kekerasan berbasis gender online ini. Bahkan ada yang secara terang-terangan membuat sebuah pernyataan ketika mendapat hal tersebut. Namun justu menimbulkan pro dan kontra, salah satunya adalah dirasa kurang tepatnya peranan media sosial sebagai penyampaian tindak kekerasan yang dialami.

 

Penulis: Shifa Fauziah

Editor: Nurulita