Laksamana Laut Perempuan Itu Bernama Keumalahayati
Sumber foto : Good news from Indonesia.id
LPM Progress - Namanya memang tak setenar Tjut Nyak Dien, namun, Laksamana Keumalahayati salah satu tokoh yang menggoreskan tinta emas pada deretan tokoh paling disegani oleh Barat pada abad ke-19. Namanya banyak diabadikan lewat nama jalan, rumah sakit, sampai pelabuhan laut di teluk Kerueng Raya, Aceh Besar, yaitu Pelabuhan Malahayati.
Keumalahayati adalah nama asli dari Laksamana laut perempuan pertama di dunia, putri dari Laksamana Mahmud Syah, merupakan keturunan Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513–1530), pendiri Kesultanan Aceh Darussalam (Rusdi Sufi dalam Ismail Sofyan, eds., Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, 1994:30). Memilih jalan hidupnya di Ma’had Baitul Maqdis. Yaitu sebuah Akademi Maritim yang dimiliki oleh kesultanan Aceh Darussalam, sukses melibas habis tentara laut Belanda, dan Bangsa Portugis yang mencoba memonopoli perdagangan pada abad ke-16.
Keumalahayati ditinggal pergi suaminya yang wafat di medan perang melawan Portugis, sebelum menjadi Laksamana, Keumalahayati dipercaya memimpin pasukan Inong Balee, armada yang didominasikan oleh para janda yang ditinggal para suaminya gugur berperang melawan Portugis, dan mendirikan benteng Inong Balee di Teluk Kerueng Raya. Ia juga ditugaskan untuk memimpin armada laut, mengawasi protokol istana, hingga mengawasi diplomasi dengan bangsa Eropa.
Menjadi panglima pada era Sultan Saidil Mukammil Salahuddin Riayat Syah IV (1589-1604), memimpin 100 kapal perang dengan kapasitas 400-500 orang, dan 2000 pasukan Inong Balee, hingga turun ke medan perang bersama armada lainnya.
Pada pertengahan Juni 1599 dua kapal tengah berlabuh di Selat Malaka, kapal tersebut dinahkodai oleh dua bersaudara, yaitu Fredrick dan Cornelis De Houtman. Dua saudara itu terbiasa berburu rempah-rempah, mulai dari Madura, Banten, Bali, hingga petualangan kakak beradik tersebut harus berhenti di Aceh, tepatnya ditangan Keumalahayati, seorang Laksamana perempuan tangguh itu. Semula hubungan mereka dengan Kesultanan Darussalam berjalan baik, sikap Belanda yang hendak memonopoli perdagangan, hingga adanya provokasi dari Portugis yang diyakini oleh Sultan Alauddin menjadi penyulut api pertikaian.
Fredrick dan Cornelis sudah menyadari bahwa akan ada serangan yang akan menuju kepada mereka, dan Sultan Alauddin pun memerintahkan Keumalahayati untuk melancarkan serangan pada dua kapal yang masih berlabuh di Selat Maka tersebut. Peperangan pun tak terhindarkan, kualahan menghadapi Armada yang dipimpin oleh Keumalahayati tersebut, peperangan berlanjut hingga ke tengah laut. Fredrick sempat ditawan oleh pasukan Aceh, dan berhasil pulang dengan selamat sampai ke Belanda. Fredrick berhasil pulang ke Belanda dengan selamat, lalu bagaimana dengan nasib Cornelis De Houtman? Nahas, Keumalahayati berhasil menginjakan kaki di kapal Cornelis De Houtman, dan harus menerima nasib jauh lebih buruk, ia menghadapi duel dengan Laksamana Keumalahayati dan menerima kekalahan, yaitu mati di atas kapalnya sendiri.
Selepas dari pertempurannya dengan kakak beradik Fredrick dan Cornelis De Houtman, pada abad 1606 Laksamana Keumalahayati harus mengembuskan napas terakhirnya di medan perang melawan Portugis, dan meninggalkan coretan bertinta emas di jurnal sejarah bangsa Indonesia, terutama Aceh. Jenazah wanita tangguh nan pemberani itu di makamkan di Bukit Krueng raya, Lamreh, Aceh Besar. Pada 6 November 2017 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo menyematkan gelar sebagai Pahlawan Nasional untuk Keumalahayati. Dan kini, Aceh tidak hanya Tjut Nyak Dien yang meninggalkan coretan tinta emas pada jurnal sejarah, kisah Keumalahayati turut sebagai Laksamana perempuan pertama di dunia, bahkan di akui oleh bangsa-bangsa Eropa lainnya.
Penulis : Pragha Mahardhika Tamir.
Editor : Andini Dwi Noviyanthi