Mahkamah Rakyat Luar Biasa: Adili 'Nawa Dosa' Rezim Joko Widodo

Mahkamah Rakyat Luar Biasa: Adili 'Nawa Dosa' Rezim Joko Widodo

Sumber gambar: Youtube Jakartanicus

 

 

LPM Progress - Selasa (25/6), telah berlangsung Sidang Mahkamah Rakyat Luar Biasa atau People’s Tribunal di Gedung Wisma Makara, Universitas Indonesia, Depok. Sidang yang beragendakan gugatan terhadap nawa dosa (Sembilan Dosa) Presiden Joko Widodo ini, dilaksanakan secara terbuka untuk umum dan dihadiri oleh beberapa komponen masyarakat yang terdiri dari para aktivis, mahasiswa, buruh, petani serta para akademisi.

Asep Komaruddin selaku panitia, mengatakan alasan Mahkamah Rakyat Luar Biasa dilaksanakan untuk melakukan persidangan yang dilaksanakan oleh rakyat mengenai pelanggaran konstitusional yang dilakukan oleh rezim pemerintahan selama dua periode dan hal ini merupakan ruang rakyat untuk menagih pertanggungjawaban terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan.

Adapun sidang pada hari ini di pimpin oleh 9 majelis hakim antara lain, yaitu: Asfinawati selaku Aktivis & Advokat HAM, Ambrosius S Kragilan selaku Aktivis Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Nurhasanah selaku Aktivis Perempuan, Koordinator Serikat Pekerja Rumah Tangga (PRT) Semarang, Sasmito selaku Jurnalis Isu HAM, Demokrasi & Pers, Lini Zurlia selaku Aktivis HAM Isu Keberagaman Identitas Gender & Orientasi Seksual, Yohanes Kristoforus selaku Pemuka Agama Katolik, Nurhayati selaku Anak dari korban tanjung Priok 1994 serta Nining Elitos selaku Aktivis Buruh.

Sidang yang dimulai pada pukul 10.21 dan dihadiri 8 penggugat yang masing-masing membawakan tuntunan yang berbeda-beda antara lain, yaitu: Perampasan Ruang, Komersialisasi & Penundukan Sistem Pendidikan, Sistem Kerja Yang Memiskinkan, Kekerasan dan Persekusi, Pembajakan Legislasi, Korupsi, Militerisme, Kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Impunitas, serta Eksploitasi Sumber Daya Alam.

Bivitri Susanti selaku penggugat menjelaskan tujuan ia menggugat dikarenakan melihat banyaknya isu pembajakan legislasi yang dimulai dari undang-undang (UU) sampai ke peraturan daerah hingga peraturan presiden dan hal tersebut dapat terlihat cukup jelas dalam pembajakan legislasi.

“Hal tersebut tidak digunakan untuk memberikan hak-hak masyarakat, tapi malah mengambil hak-hak tersebut,” Ujar Bivitri Susanti.

Bivitri juga menambahkan pemerintah seperti menggunakan frasa legalisme otokrasi yang dimana rezim Jokowi menggunakan hal tersebut untuk membenarkan tindakan-tindakan yang salah dari pemerintah dengan membuat justifikasi melalui pembuatan undang-undang. Seperti halnya pembuatan UU Cipta Kerja, UU Mineral dan Batubara (Minerba), UU Ibu Kota Negara (IKN), kemudian ada UU Revisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Di mana UU tersebut berhasil membunuh KPK.

Fatia Maulidiyanti selaku saksi isu persekusi, kriminalisasi, dan diskriminasi. Mengatakan bahwa bekerja di sektor HAM, lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. “Pasca tahun 98, era reformasi telah membawa harapan besar bagi seluruh rakyat Indonesia, bahwa supremasi hukum akan ditegakkan dan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) akan diberantas, dan pancasila akan diwujudkan,” Ujar Fatia.

Fatia juga menjelaskan bahwa setelah 26 tahun pasca reformasi terdapat pembatasan kebebasan berekspresi dan berkeyakinan serta impunitas telah mendominasi selama 10 tahun terakhir di Indonesia. Di atas kertas, Indonesia telah mengalami demokratisasi dan secara formal pemilu demi pemilu telah dilakukan secara rutin. Namun secara substansi demokrasi terus merosot hingga paling parah di era presiden Joko Widodo.

“Presiden Jokowi telah memberi angin segar bagi menguatnya oligarki. Dimana pembangunan lebih dibasiskan atas kepentingan pengusaha dan penguasa, model Pembangunan ini yang mengakibatkan atas kebebasan sipil menurun. sebagai Check and balance melalui badan pengawas KPK, komnas HAM, dan lainya melemah,” ujarnya.

 

 

 

Penulis: Farhan Jiddan

Editor: Naptalia