Pembelajaran Tatap Muka, Kebutuhan atau Keinginan?
Sumber Gambar : freepik.com
LPM Progress - Perubahan almanak 2020 menjadi 2021 bukan hanya sekedar penambahan angka, akan tetapi juga menumbuhkan harapan adanya perubahan lain yang mengikuti. Salah satu perubahan yang ditunggu-tunggu adalah kembalinya pembelajaran tatap muka (PTM). Memang, setelah pandemi melanda di tahun 2019, pertemuan fisik menjadi barang mahal yang dirindukan. Harapan masyarakat melambung ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, mengumumkan melalui akun YouTube Kemendikbud RI (20/11) menyebut bahwa bulan Januari 2021, sekolah yang memenuhi syarat tertentu dapat melaksanakan pembelajaran tatap muka. Keputusan ini diambil dari Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri berkaitan dengan Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021. Berkat SKB ini suara-suara yang menginginkan PTM pun bersahutan dengan suara yang enggan untuk meninggalkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Timbul pertanyaan menggelitik di pikiran sederhana penulis: apakah PTM ini sebuah kebutuhan atau keinginan semata?
Penggolongan sesuatu menjadi kebutuhan atau keinginan bukanlah persoalan yang sederhana, namun tidak pula serumit itu. Jika saja kita bisa mengutip pembelajaran yang diberikan Plato (429-437 SM) bahwa manusia di dalam hidupnya digerakkan oleh tiga hal yaitu keinginan, emosi, dan pengetahuan, mungkin kita akan senantiasa berpikir sebelum bertindak melakukan apapun. Persis seperti kata Einstein bahwa dia menghabiskan waktu 55 menit untuk berpikir dan 5 menit untuk menyelesaikan. Keinginan itu sendiri terbagi menjadi keinginan yang berguna dan tidak berguna. Dalam hidup, manusia akan terus dihadapkan pada pilihan-pilihan mulai dari sekedar warna baju apa yang akan digunakan hingga keinginan untuk menyelamatkan dunia. Penentuan pilihan diantara berbagai keinginan yang muncul akan sangat bergantung pada akal, spirit, atau nafsu si empunya keinginan. Akal sebagai karunia sang Pencipta sejatinya memang digunakan untuk mengendalikan keinginan-keinginan yang muncul sebagai akibat dari nafsu semata. Agar akal mampu menjadi pengendali keinginan, maka sudah seharusnya manusia menggunakan fungsi penalarannya untuk memperoleh pengetahuan agar mampu memilih keinginan yang berguna.
Namun, apakah setiap keinginan adalah kebutuhan kita? Maslow (1950), bapak Psikologi yang memperkenalkan kebutuhan berdasarkan hierarki dari yang paling dasar hingga paling tinggi yang meliputi kebutuhan fisiologis, keamanan, kasih sayang, penghargaan, dan aktualisasi diri. Kebutuhan dasar ini merupakan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia untuk mempertahankan hidupnya. Pemenuhan kebutuhan bergerak dari tingkat dasar yang mendorong kepada tuntutan pemenuhan kebutuhan pada tingkat di atasnya. Hal menarik diajukan oleh Dessleer (2006) bahwa ketika kebutuhan dasar tidak terpenuhi maka hal ini akan menciptakan ketegangan yang akan menjadi sumber motivasi. Selanjutnya motivasi ini akan menjadi tenaga penggerak untuk mencapai tujuan. Dalam hidup, tidak jarang apa yang kita butuhkan sesungguhnya bukanlah yang kita inginkan. Atau, berlaku sebaliknya. Akal dengan pengetahuan itulah yang berperan dalam bimbangan manusia menentukan mana yang dibutuhkan atau mana yang diinginkan.
Demikian halnya dengan menilai PTM sebagai sebuah kebutuhan atau keinginan. PTM merupakan hal biasa jika saja saat ini kondisinya adalah biasa-biasa saja. Namun, sudah setahun ini dunia berjalan ke arah yang tidak biasa secara perlahan menuju kebiasaan yang baru. Demikian tidak biasanya hingga butuh tidak kurang dari 4 kementerian untuk menyepakati SKB tatap muka ini. Nadiem Makarim berpendapat bahwa SKB tatap muka ini didorong oleh beberapa pertimbangan diantaranya adalah adanya tekanan psikososial serta kekerasan dalam keluarga ketika pelaksanaan PJJ. Alasan ini nampaknya bukan isapan jempol semata seperti dilansir dari Kompas.com, terdapat 213 laporan yang masuk ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hanya dalam periode 16 Maret hingga 9 April 2020. Laporan tersebut berisi keluhan bervariasi dari penugasan terlalu berat yang tidak sebanding dengan waktu pengerjaannya, terlalu banyak tugas yang berupa merangkum, kakunya jam belajar, hingga keterbatasan kuota dan akses gawai. Hal ini juga dibuktikan dengan penelitian yang pernah dilakukan penulis bersama rekan dosen pada tahun 2020 dengan judul Persepsi Peserta Didik Terhadap PJJ Pada Masa Pandemi Covid 19,menunjukkan bahwa peserta didik mulai dari jenjang SD hingga SMA tidak menginginkan perpanjangan PJJ. Keluhan serupa juga datang dari tingkat perguruan tinggi. Hal ini terungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh Purnamasari, dkk (2020) bahwa sebagian pengajar hanya memberikan materi tanpa memberikan penjelasan. Rupanya hal ini juga yang mendorong banyak peserta didik maupun pengajar bersenang hati ketika SKB ini dikeluarkan. Adanya keinginan untuk mendapatkan penjelasan dengan lebih rinci dan keinginan untuk menjelaskan tanpa terkendala tebal tipis jaringan.
Besarnya potensi putus sekolah jika PJJ terus dilaksanakan sebagai dampak persepsi orang tua bahwa PJJ tidak memberi dampak pada kompetensi anak juga ditenggarai menjadi pertimbangan untuk kembali melaksanakan PTM. Putus sekolah diungkap oleh Martoredjo (2020) dalam penelitiannya terjadi sebagai dampak PJJ yang menyebabkan kurangnya tingkat penyerapan materi yang seharusnya dikuasai. Tidak dapat dipungkiri peralihan mendadak dari moda PTM menjadi PJJ menyebabkan bukan hanya perubahan tetapi juga perombakan di berbagai segmen pendidikan. Seluruh elemen yang terlibat di dalamnya diminta untuk cepat menyesuaikan diri terhadap perombakan tersebut. Ketidak biasaan merupakan kata yang sering dilontarkan dan menjadi tameng ketika mengalami kebuntuan.
PJJ juga dianggap membawa risiko bagi perkembangan peserta didik karena masih banyaknya peserta didik yang memiliki keterbatasan akses PJJ, baik perangkat lunak maupun kerasnya. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkap oleh Fieka Nurul Arifa (2020) dalam penelitiannya Tantangan Pelaksanaan Kebijakan Belajar dari Rumah dalam Masa Darurat Covid-19 dalam jurnal Puslit BKD yang menemukan bahwa ada berbagai kendala dalam pelaksanaan PJJ baik dari sumber daya manusia (SDM), pengaturan penyelenggaraan, kurikulum, serta sarana belajar. Dilansir dari vice.com, temuan berupa kendala pada sarana belajar sejalan dengan apa yang disajikan oleh data International Telecommunication (ITU) dan Biro Pusat Statistik (BPS), yang menunjukkan bahwa pada periode tahun 2009-2018, pengguna internet di Indonesia kurang dari 40% dan hanya 3% yang mendapatkan akses internet dengan kapasitas sambungan besar. Kondisi ini tentunya menjadi pertimbangan dalam keberlanjutan PJJ, mengingat bahwa PJJ membutuhkan kestabilan akses jaringan.
Sebagai bukti keseriusan pemerintah untuk memulai PTM, direktorat-direktorat di bawah naungan Kemendikbud RI mulai mengirimkan survei dimana hasilnya akan digunakan sebagai tolak ukur pengambilan keputusan pertemuan tatap muka. Untuk Direktorat Sekolah Dasar sendiri, Direktur Sekolah Dasar Kemendikbud, Dra. Sri Wahyuningsih, M.Pd (11/01) menjelaskan dalam laman resmi Direktorat Sekolah Dasar bahwa sejak tanggal 4 – 27 Desember 2020 telah menyebarkan angket mengenai kesiapan satuan pendidikan untuk Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Angket tersebut tentunya disusun berdasar indikator kesiapan PTM yang telah ditetapkan dalam panduan SKB. Hasil survei terhadap 21.730 responden yang merupakan satuan-satuan pendidikan di bawah Direktorat Pendidikan Dasar menunjukkan 97,1% memiliki toilet bersih sebagai salah satu syarat PTM, 94,8% responden mampu mengakses fasilitas kesehatan, 99,8% responden menyatakan siap menerapkan area wajib masker, 95,8% responden telah memiliki theromogun, 78,1% responden telah melakukan pendataan warga sekolah yang memiliki riwayat penyakit, dan 78,4% responden sudah melakukan pendataan warga sekolah yang menggunakan transportasi umum. Gambaran hasil angket ini menunjukkan kesiapan dari satuan pendidikan untuk melakukan PTM sehingga jikalau satuan pendidikan tersebut menginginkan PTM maka keinginan ini adalah keinginan yang didasari oleh pemikiran dan pengetahuan.
Adapun pemerintah siap menggelar PTM maka ini menjadi sesuatu yang kontra jika individunya belumlah siap, atau boleh dikatakan belum tahu dirinya tidak siap. Untuk itu penulis tergelitik untuk melakukan survei pada level individu dengan menyebar angket untuk mengukur seberapa ingin atau seberapa butuh mahasiswa terhadap PTM dalam perkuliahan. Penulis menyebarkan angket kepada mahasiswa di salah satu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Jakarta yang berisi pertanyaan mengenai keinginan dan pengetahuan mahasiswa. Dari angket tersebut, terdapat 60 responden yang bersedia menjawab pertanyaan berkaitan dengan PTM dan PJJ. 81,7% responden adalah perempuan dan berusia pada rentang usia 17-25 tahun. 61,7% responden menjawab bahwa mereka menginginkan dilakukan PTM dalam perkuliahan. Responden beralasan bahwa PTM lebih memudahkan dalam pemahaman materi dan memaksimalkan pembelajaran. Alasan lain bagi mahasiswa yang menginginkan PTM ini adalah rasa bosan dan adanya keinginan untuk bertemu serta berkumpul dengan teman. Alasan-alasan tersebut menjadi cerminan bahwa PTM adalah sebuah keinginan.
Namun, pertanyaan sama yang muncul di benak penulis, apakah keinginan PTM ini merupakan sebuah kebutuhan? Sebuah pembelajaran dianggap berhasil jika berhasil mencapai tujuan yang ditetapkan sebelumnya. Dalam pencapaian tersebut tentunya melibatkan sarana serta prasarana penunjang. Berdasarkan hasil survei berkaitan dengan kegiatan perkuliahan daring, 43,3% responden menyatakan memperoleh bahan perkuliahan daring sedangkan 21,7% menyatakan tidak, sisanya menyatakan keraguannya. 56,7% responden menyatakan perkuliahan berjalan sesuai rancangan perkuliahan dan hanya 3,3% menyatakan tidak, sedangkan sisanya, 40%, menyatakan ragu-ragu. Dari sudut waktu, 80% responden setuju bahwa perkuliahan berjalan sesuai jadwal. 31,7% responden menyatakan bahwa dosen melakukan evaluasi pembelajaran, sedangan 13,3% responden menyatakan tidak, dan 55% menyatakan keraguannya. Dari sudut peningkatan keterampilan, 33,% menyatakan keyakinannya mengalami peningkatan selama PJJ, 25% tidak yakin, dan 41,7% ragu-ragu. Hal menarik bagi penulis adalah pilihan ‘mungkin’ yang mendapatkan porsi besar. Pilihan kata ‘mungkin’ merepresentasikan keraguan dari responden terhadap pilihan yang diberikan. Ini berarti responden sendiri tidak tahu apakah sesuatu itu benar-benar diinginkan atau tidak. Lebih lanjut, responden tidak tahu apakah sesuatu itu adalah kebutuhannya atau bukan.
Hasil angket persepsi mahasiswa terhadap PJJ dan PTM ini menunjukkan temuan menarik bahwa keinginan PTM tidak diikuti oleh alasan logis yang menunjang keinginan tersebut. Sebagian besar keinginan hanya didorong oleh emosi yang bernama ‘bosan’ atau ‘jenuh’. Lebih jauh, angket tersebut juga menunjukkan bahwa mayoritas responden setuju bahwa semua persyaratan perkuliahan bisa dipenuhi dengan baik dalam PJJ. Hal ini tentu makin menjauhkan keinginan PTM dari alasan yang logis.
Pertanyaan angket lain merupakan pertanyaan yang berkaitan dengan unsur lainnya seperti biaya yang dikeluarkan selama PJJ. 52,5% responden setuju bahwa biaya PJJ lebih rendah dibanding PTM, 23 % menyatakan biaya PJJ lebih tinggi, sedangkan 24,5% ragu-ragu. Biaya PJJ lebih rendah dikarenakan mahasiswa hanya perlu mengeluarkan biaya untuk pembelian kuota data internet dan tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan berupa ongkos transportasi atau biaya konsumsi. Namun, bagi beberapa responden biaya PJJ memberatkan karena pendapatan pada saat pandemi menurun. Tentunya hal ini bukan semata-mata karena PJJ, tetapi lebih kepada kontraksi ekonomi akibat pandemi yang dirasakan di seluruh dunia sehingga tidak adil jika menilai biaya PJJ lebih tinggi dengan alasan pemasukan.
Temuan angket ini juga menunjukkan bahwa 45,9% responden belum membaca SKB mengenai PTM, 18% sudah membaca, dan 36,1% menyatakan keraguannya. Hal ini berbanding terbalik dengan jumlah responden yang menginginkan PTM yakni 61,7%. Bagaimana bisa menginginkan sesuatu tanpa diikuti pengetahuan yang mumpuni? Temuan menarik lain berkenaan dengan keyakinan responden terhadap kemampuan dirinya untuk menerapkan protokol kesehatan selama PTM. 65,6% yakin mampu melaksanakan, 6,5% tidak yakin, dan 27,9% ragu-ragu. Sesungguhnya yang menjadi persoalan bukanlah besarnya angka yang yakin, namun seberapapun kecilnya persentase responden yang tidak yakin dan ragu-ragu akan sangat menentukan jalannya PTM dengan aman karena yang kita hadapi adalah virus yang penyebarannya sangat cepat dan tak kasat mata. Terlebih lagi angket mengenai keyakinan responden terhadap kemampuan orang lain menjaga protokol kesehatan mencapai 23% yakin, 26,2% tidak yakin, dan sebesar 50,8% ragu-ragu.
Sejatinya sebuah kebutuhan adalah hal esensi yang diperlukan agar hidup dapat berjalan. Terkadang, sesuatu yang kita inginkan bukanlah yang kita butuhkan. Terlepas dari itu semua, bukankah hal utama dari tujuan pendidikan modern adalah memanusiakan manusia? Dengan demikian, bukankah yang kita butuhkan adalah pengetahuan untuk memanusiakan diri sendiri? Seharusnya cita-cita pendidikan inilah yang menjadi keinginan dan kebutuhan kita sehingga tidak perlu mempermasalahkan moda atau cara yang digunakan dalam pencapaiannya. Setidak biasa apapun atau setidak nyaman apapun, jika memang itu adalah kebutuhan, hendaknya hal itu kita jadikan keinginan sehingga segala yang tidak biasa dapat bertransformasi menjadi kebiasaan dan ketidak nyamanan dapat beralih menjadi kenyamanan. Lagipula sejarah selalu muncul dengan cara yang tidak biasa untuk membawa perubahan baru. Penulis yakin bahwa apa yang sudah ditetapkan sebagai kebutuhan dasar manusia merupakan awalan untuk memanusiakan manusia. Berbagai aspek hendaknya diukur dengan cermat agar tidak gegabah menginginkan sesuatu. Jika keinginan PTM mengancam kebutuhan dasar manusia, masihkah kita menginginkannya? Atau, jika PTM adalah kebutuhan, adakah keinginan kita untuk memahami semua yang dibutuhkan dan diprasyaratkan PTM?
Kontributor : Erna Megawati
Editor : Nira Yuliana