Sesat Pikiran Ketua Umum dan Jajaran BEM Unindra dalam Menyikapi Wawancara Eksklusif LPM Progress

Sesat Pikiran Ketua Umum dan Jajaran BEM Unindra dalam Menyikapi Wawancara Eksklusif LPM Progress

Ket. Gambar: Ilustrasi sesat pikir/Tim Konten LPM Progress.

 

LPM Progress - Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Pers Mahasiswa (Persma) merupakan instrumen penting dalam kehidupan demokratis di kampus. Keduanya memiliki tanggung jawab moril untuk mewujudkan kehidupan kampus yang berdasarkan prinsip-prinsip yakni: demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif; kebebasan akademik; dan satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna (UU No. 12 tahun 2012).

Antara BEM dan Persma mestinya bahu-membahu untuk menciptakan ruang kampus yang demokratis dengan mengedepankan kebebasan akademik. Kedua organisasi mahasiswa ini sebagai ruang wacana bagi seluruh civitas akademik dalam membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan kehidupan kampus.

Sebagai contoh, BEM dan Persma bisa menjadi pengeras suara mahasiswa untuk menyuarakan aspirasinya kepada rektorat kampus yang berkaitan dengan hak-hak mereka. Selain itu, keduanya bisa saling membantu dalam memperjuangkan hak-hak mereka yang terdiskriminatif oleh kebijakan kampus.

Namun realitasnya, BEM Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) gagal memaknai kebebasan akademik dan justru mengkebiri kehidupan demokratis kampus.

Hal tersebut terbukti, ketika Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Progress berusaha melakukan kerja-kerja jurnalistiknya dengan mencoba mewawancari Rektor dalam merespon problem kampus yang disebabkan oleh Corona virus justru dihalang-halangi BEM. Mereka merasa keberatan dengan wawancara tersebut dan minta dibatalkan, hanya karena persoalan internal organisasi keduanya.

 

Baca juga: Wawancara dengan Rektor Ditunda, Begini Alasannya

 

Rektor sebagai pembina dan pemimpin tertinggi di universitas yang seharusnya memberikan ruang kebebasan akademik kepada mahasiswanya justru mengamini keberatan BEM, hal tersebut tentunya seperti kata pepatah “Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”.

Alasan BEM dan Rektor membatalkan wawancara tersebut karena pernyataan sikap organisasi LPM Progress pada tanggal 21 Desember 2019 saat Musyawarah Mahasiswa (Musma). LPM Progress sebagai organisasi mahasiswa menyatakan sikapnya bahwa keluar dari jalur birokrasi di bawah BEM.

Atas pernyataan sikap tersebutlah BEM keberatan dengan kerja-kerja jurnalistik yang dilakukan Progress di ranah kampus. Mereka mempertanyakan status dan posisi Progress sebagai organisasi yang telah memilih untuk keluar dari jalur birokrasi. 

Ketua Umum BEM dan beserta jajarannya gagal paham memaknai kebebasan akademik, dan tidak mampu mengimplementasikannya dalam kehidupan berorganisasi.

Menurut Herlambang P. Wiratraman dari Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga, dalam makalahnya Persma, Antara Kebebasan Pers dan Akademik menuliskan, bahwa ide kebebasan akademik sebenarnya tak terpisahkan dengan konsep kebebasan itu sendiri, seperti kebebasan berpikir, berpendapat, kebebasan menerima dan menyampaikan informasi.

Bila merujuk pada sistem hukum Indonesia, maka ada dua level perlindungan hukumnya, Konstitusi dan Perundang-undangan. Pertama, secara konstitusional, kebebasan akademik bisa dijamin melalui penafsiran meluas atas ketentuan pasal 28, 28C, 28E, 28F Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.

Kedua, secara perundang-undangan, kebebasan akademik bisa dilindungi secara umum dalam merujuk pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, serta pasal-pasal dalam UU No. 11 dan 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Perjanjian Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (terkait hak atas pendidikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan  ‘pasal 13’ dan hak sipil dan politik ‘pasal 19’). Sedangkan secara khusus merujuk perlindungannya pada pasal 8 jis 9 jis 54 (3) UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dalam UU tersebut dikualifikasikan menjadi tiga, yakni kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.

Selain itu, menurut Surabaya Principles on Academic Freedom (Prinsip-prinsip kebebasan akademik), meliputi lima hal: (1) Kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik; (2) Insan akademis, mereka yang melakukan aktivitas di ranah akademik, memiliki kebebasan penuh dalam mengembangkan pengabdian masyarakat, pendidikan, penelitian, serta mempublikasikan hasil-hasilnya sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuannya; (3) Insan akademis yang bekerja sebagai pengajar pada dunia pendidikan memiliki kebebasan di dalam kelas untuk mendiskusikan mata kuliah dengan mempertimbangkan kompetensi keilmuan dan penghormatan terhapada nilai-nilai kemanusiaan; (4) Insan akademis harus bebas dari pembatasan dan pendisiplinan dalam rangka mengembangkan budaya akademik yang bertanggung jawab dan memiliki integritas keilmuan untuk kemanusiaan; dan (5) Otoritas publik memiliki kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik (Herlambang P. Wiratraman, dalam makalahnya Persma, Antara Kebebasan Pers dan Akademik: 2019).

Jadi, tindakan BEM ini telah melupakan hal yang fundamental dalam menjalankan roda organisasinya dan kehidupan kampus. Meminjam istilah Rocky Gerung, mereka tidak mampu menggunakan akal sehatnya dalam menentukan tindakan yang diambil untuk mengatasi persoalan.

Sebab, tindakan yang diambilnya justru merugikan mahasiswa lain dalam mendapatkan informasi.  Tindakan tersebut, lantaran reaksi emosional belaka terhadap Progress. Mereka tidak memikirkan efek bagi kepentingan bersama.

Seharusnya Ketua Umum beserta jajarannya mampu memilah keputusan yang bijaksana dengan mempertimbangkan aspek kebebasan akademik dan demi kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau kelompok. Tanpa disadari, Ketua Umum dan jajaran BEM telah sesat pikiran dengan melanggar prinsip kebebasan akademik. Padahal, BEM Unindra ada hingga hari ini karena prinsip akademik itu sendiri. Apabila ide kebebasan akademik tidak ada, maka organisasi BEM Unindra tidak akan pernah lahir di Unindra.

 

Penulis: Achmad Rizki Muazam

Editor: Deny Setiawan