Siksaan Penebus Dosa
Sumber gambar: pixabay.com
Aku baru saja keluar dari sebuah toko, suasana malam itu terasa tenang dengan semilir angin. Tiba-tiba, sekelompok orang menyergapku, dibawalah aku ke sebuah kantor polisi. Bertubi-tubi pertanyaan pun diluncurkan.
"Pak, aku lupa kejadiannya," ujarku.
"Alah, itu cuma alasanmu saja."
"Benar, Pak. Aku lupa!"
"Bawa dia ke sel!" seru petugas itu kepada rekannya.
Seketika aku dimasukkan ke dalam penjara. Di dalam penjara itu, beberapa orang mendekam dengan beragam latar kejahatan. Aku terus berdoa semoga mereka tidak menyakitiku.
Selama beberapa hari, aku masih baik-baik saja. Teman-teman satu selku juga terlihat bersahabat, pola makanku juga masih teratur.
"Cuy, enak enggak makanannya?" tanya seorang rekan satu selku.
"Enak, kok."
Hingga suatu ketika, seorang polisi berpangkat inspektur datang. Dia menyuruh kami semua untuk mandi dalam waktu 5 menit. Jika lewat dari 5 menit, maka hukuman pun menanti.
"Mana bisa aku mandi secepat itu," kataku di dalam hati.
Aku pun memasuki kamar mandi. Guyuran air yang menyegarkan membuatku terlena.
"Woi, buruan!" teriak sang polisi dari luar.
Setelah keluar dari kamar mandi, aku pun dihukum dengan cambukan sebanyak sepuluh kali. Jumlah cambukannya memang tidak seberapa. Namun, itu cukup untuk membuat punggungku terluka.
Tak hanya aku, beberapa temanku juga dicambuk karena alasan yang sama. Karena kesalahan ini, jatah makanan kami pun dikurangi.
"Itu akibat kalian kurang disiplin. Makanya, kalian harus disiplin supaya dapat jatah makan yang cukup," ujar sang polisi berpangkat inspektur itu.
Aku saat ini memang menderita. Namun, penderitaanku ini seolah menjadi pemberi sinyal kepada orang-orang tercinta.
"Ibu di mana?" kataku dalam lirih.
Seketika, orang tuaku pun datang. Terlihat mereka menenteng sebuah sajadah. Lalu, mereka duduk di depan polisi penjaga dan terdengar bahwa mereka ingin membebaskanku. Disitulah, air mataku menetes.
Ingatanku lalu terbang ke masa saat aku diasuh oleh orang tuaku. Masa di mana semua kebutuhanku terjamin seiring pertumbuhanku. Suka dan duka kulalui bersama mereka hingga aku beranjak dewasa.
Sesaat kemudian, suara tangisan ibuku pecah saat polisi itu tidak bisa membebaskanku. Lalu, ibuku menitipkan sajadah itu lalu pergi. Aku hanya bisa diam termenung. Menunggu keajaiban datang dari hati sang polisi penjaga yang bisa saja berubah drastis.
Tetapi, keajaiban itu tak kunjung datang. Aku tetap mendapat siksaan dari sang Inspektur Polisi hanya karena suatu kesalahan kecil. Karena siksaan tersebut, punggungku makin terluka. Darah dari punggungku terus mengucur, hingga aku pun tak sadarkan diri.
"Woi, polisi! Ini ada tahanan pingsan!" teriak temanku.
Saat aku pingsan, aku seakan terbang menuju suatu tempat nan indah. Di sana, semua keluargaku yang telah wafat berkumpul.
"Kemarilah, nak," ujar nenekku dari kejauhan.
Aku pun berjalan menuju nenekku. Namun, langkahku terhalang oleh sebuah rekaman film tentang dosa-dosaku selama hidup di dunia. Durasi filmnya cukup panjang. Karena film tersebut, aku sampai menangis karena menyesal.
Dalam film tersebut, terdapat adegan saat aku sedang melakukan pencurian emas yang membuatku ditangkap polisi. Anehnya, aku lupa dengan kejadian itu.
"Kau mengalami lupa karena Tuhan hendak menghapus dosa-dosamu. Lalu, Tuhan pun menghapus dosa-dosamu dengan siksaan-siksaan yang kau alami di dunia. Lebih baik kau disiksa di dunia daripada disiksa di akhirat," ujar sesosok malaikat.
Mendengar hal itu, aku kembali menangis karena menyadari betapa baiknya Tuhan.
"Lalu, apa yang harus kulakukan selanjutnya?" tanyaku.
"Karena dosa-dosamu sudah terampuni, kau hanya perlu berubah menjadi lebih baik. Kau belum layak berkumpul bersama nenekmu karena tanggung jawabmu di dunia belum selesai," ujar sang malaikat.
Seketika, aku pun terbangun di sebuah rumah sakit. Kulihat ayah dan ibuku sudah berada di sampingku.
"Ayah, ibu maafkan aku karena telah mengecewakan kalian," kataku dengan nada lirih.
"Tidak apa-apa, nak. Kami sudah memaafkanmu," ujar orang tuaku. Lalu, datanglah polisi ke kamar rawat inapku.
"Saudara dinyatakan bebas atas dasar kemanusiaan. Polisi berpangkat inspektur yang telah menyiksa saudara sudah kami tahan," ujar sang polisi.
Polisi tersebut kemudian bercerita cukup panjang kepadaku. Beliau menjelaskan bahwa saat aku pingsan, ada polisi berpangkat jenderal mendatangi selku. Dia langsung memerintahkan para bawahannya untuk membawaku ke rumah sakit. Kemudian, sang jenderal menginterogasi para bawahannya terkait luka sabetan yang kualami. Lalu, sang Inspektur Polisi pun mengakui kesalahannya dan langsung ditahan.
Aku pun menangis bahagia karena kabar baik ini. Karena merasa bahagia, aku langsung memeluk ibuku.
Sebulan kemudian, aku pun sembuh. Aku telah berjanji kepada diriku sendiri untuk selalu berbuat baik agar Tuhan selalu menyayangiku.
Penulis: Alfat Tanjung
Editor: Chevalinia Indah Marsella