Relasi Kuasa dan Kekerasan di Lingkungan Pesantren

Relasi Kuasa dan Kekerasan di Lingkungan Pesantren

Sumber gambar: Tim Konten LPM Progress

 

LPM Progress – Indonesia telah berkomitmen dalam pengakuan serta hak perlindungan atas anak yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28B ayat (2), yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Akan tetapi, komitmen tersebut tidak mengurangi kasus bullying di Indonesia. Berdasarkan data dari Kemen PPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), pada tahun 2022 terdapat 16.208 kasus bullying di Indonesia yang tersebar di seluruh provinsi. Kasus bullying bukan hanya terjadi di lingkungan sekolah umum, namun terjadi pula di lingkungan pesantren, seperti yang terjadi pada beberapa waktu lalu di pondok pesantren Gontor yang menyebabkan tewasnya seorang santri.

MG (nama samaran) seorang santri baru kelas 2 SMP beserta salah satu temannya yang pada saat itu juga merupakan santri baru yang duduk di kelas 1 SMP di pondok pesantren DR di daerah Bogor, menjadi korban kasus kekerasan di pondok pesantren yang terbilang cukup bagus dan terkenal. Pondok pesantren yang terbilang cukup bagus tersebut sayangnya justru menutupi pelanggaran yang selama ini ada di dalam pesantren. Singkat cerita, setelah MG menjadi santri kurang lebih 4 bulan, barulah terkuak adanya penyiksaan yang selama ini dialaminya. Terkuaknya pelanggaran ini diawali oleh teman MG yang pulang ke rumah dengan kondisi badan yang dipenuhi memar. Teman MG pun menceritakan kejadian yang menimpa dirinya dan MG kepada orang tuanya.

Kakak MG menerangkan bahwa, “Jadi orang tua dia (teman MG) cerita ke orang tua aku, ‘MG (mendapatkan kekerasan) lebih parah dari aku bu’, pokoknya adik kelas adikku ini (teman MG) sampai mau ngaku karena benar-benar sudah tertekan, terus ditanya-tanya sama orang tuanya, akhirnya ngaku juga kalau dia suka disiksa.”

Kekerasan ini dilakukan setiap hari pada pukul 22.00 malam sebelum semua santri hendak tidur. Para senior yang duduk di bangku SMA dengan jabatan sebagai pengurus kedisiplinan ini melakukan evaluasi kepada santri yang merupakan anggota mereka. Pada evaluasi tersebut, pengurus melakukan tindakan kekerasan seperti memukul korban karena alasan sepele yang dilakukan korban, seperti terlambat pergi ke masjid, terlambat mandi dan ke sekolah. Bahkan, santri yang tidak melakukan kesalahan pun tidak jarang ikut terkena pukulan yang dilakukan oleh pelaku. Hal ini dinilai sebagai tindakan semena-mena yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban, yang mana korbannya tidak mampu membantah atau memberikan perlawanan karena tingginya budaya senioritas di dalam pesantren tersebut.

“Misalnya yang satu kena, ya semuanya kena, dan itu dilakukan sama seniornya, yang mana senior itu adalah anak SMA kelas 1 atau 2 gitu, jadi umurnya terbilang cukup jauh (dengan para korban), dan dia bisa semena-mena sama adek kelasnya,” terang kakak MG.

MG memilih bungkam dan tidak berani berkata jujur kepada keluarganya karena merasa tidak adanya perlindungan yang dia dapatkan dari pesantren tersebut. Ia juga merasa takut jika mengadukan hal tersebut, justru akan membuatnya mendapatkan tindakan kekerasan yang lebih parah dari yang didapatkan sebelumnya. Hal ini membuat MG selaku korban merasakan trauma hingga sempat tidak mau keluar dan menjadi pribadi yang temperamen.

Keluarga MG yang tidak terima anaknya diperlakukan semena-mena menuntut pelaku untuk diadili dan mendapatkan sanksi yang setimpal. Akan tetapi, sangat disayangkan ketika keluarga korban menuntut keadilan, pihak pesantren tidak berkenan untuk bekerjasama serta menolak untuk berbicara seolah menutup mata akan hal ini. Pihak pesantren ingin hal ini diselesaikan secara kekeluargaan, namun keluarga MG menolak, karena merasa kejadian ini telah merusak mental maupun fisik korban. Sehingga, sampai saat ini pelaku belum mendapatkan sanksi yang setimpal.

“Belum ada sama sekali sanksi untuk pelaku, gak ada karena pesantren itu bekerjasama sama pelaku. Mereka tetap mau memperjuangkan pesantrennya sendiri, walaupun ada kekerasan gini-gini di dalam sekolahnya atau muridnya itu, mereka merasa tidak ikut-ikut, pesantren merasa itu urusan eksternal, urusan anak-anak murid gitu. Jadi gak mau disangkut pautkan, padahal itu (kejadiannya) di tempatnya mereka sendiri,” tutur kakak MG.

Keluarga MG sudah melaporkan kasus ini kepada pihak yang berwajib dan pihak P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak). Namun, sampai berita ini diterbitkan, masih belum ada tanggapan dan titik terang atas penyelesaian kasus ini. Hal ini juga menyebabkan pihak pesantren tidak dapat dituntut atau ditindaklanjuti.

“Pernah sampai ngobrol sama si pelaku, tapi pelaku karena keluarganya dari polisi ya sudah dibacking-in lah sama polisinya, jadi pesantren itu gak bisa dilaporkan, gak bisa ditindak lanjuti,” terang kakak MG.

Keluarga MG berharap agar keburukan-keburukan yang ada di pesantren terungkap dan para korban berani untuk bersuara. Mereka juga berharap agar kasus cepat ditindaklanjuti dan pelaku mendapatkan hukuman yang setimpal, bukan hanya sekedar gertakan ataupun penyelesaian secara kekeluargaan, sehingga diharapkan tidak ada lagi korban yang berjatuhan.

 

Penulis : Valensiya

Editor   : Dwi Kangjeng