Pulau Tidung, Tempat Terakhir Raja Pandita Berlindung

Pulau Tidung, Tempat Terakhir Raja Pandita Berlindung

Sumber gambar: Makam Raja Pandita di Pulau Tidung.Dok/LPMProgress/Isnawati

 

LPM Progress—Pulau Tidung, salah satu tempat wisata yang berada di Kepulauan Seribu DKI Jakarta yang terkenal dengan ikon jembatan cinta. Pulau Tidung memliliki 2 pulau yang terpisah, yaitu pulau Tidung Besar dan pulau Tidung Kecil. Pulau yang memiliki keindahan alam berupa pantai serta keindahan di sekitarnya ini sempat menjadi tempat berlabuhnya Raja Pandita yang kala itu sedang dikejar oleh Belanda, sebab menolak menyerahkan Komoditas kepada Belanda. Pulau ini juga berhubungan langsung dengan daerah asal Raja Pandita yang berlokasi di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Pulau Tidung sendiri dinamakan oleh Raja Pandita dengan nama kerajaan Tidung dari suku Tidung di Kalimantan. Hal ini dijelaskan oleh seorang penyimpan kunci makam yang bernama Muhammad Nafsir Abdul Murad, saat ditemui di lokasi.

Muhammad Nafsir Abdul Murad atau sering disapa dengan Nafsir adalah salah satu penduduk yang menempati pulau tersebut. Pria yang mengaku keturunan kelima dari Raja Pandita itu menuturkan bahwa Raja Pandita saat itu bernama Aji Muhammad Sapu, atau biasa disebut dengan nama kecilnya, Kaca. Ia adalah pemimpin Kerajaan Tidung, yang saat ini berlokasi di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara. Raja Kaca lahir di Malinau, 20 Juli 1817. Ayahnya bernama Aji Muhammad Ali Hanapiah yang memiliki gelar Raja Tua, dan ibunya bernama Aji Ratu.

”Raja Pandita adalah orang yang paling keras terhadap Belanda," kata Nafsir (29/10).

Raja Pandita melakukan pelarian disinyalir karena perseteruan dengan raja Balungan, padahal Kerajaan Tidung dan Kerajaan Bulungan sebenarnya masih berkerabat. Saat itu, Kerajaan Bulungan yang dipimpin Sultan Maulana Mohammad Kaharudin mengklaim telah menguasai Kerajaan Tidung dan berhak atas hasil penjualan komoditas hutan. Klaim Kerajaan Bulungan atas Kerajaan Tidung ditekan pula oleh pemerintah kolonial Belanda, karena pada saat itu Belanda menginginkan komoditas dan mengadu domba antara Bulungan dan Raja Pandita. Belanda mengiming-imingi Bulungan dengan wilayah dan juga minyak yang ada di tempat tersebut, jika Bulungan bekerja sama dengan Belanda maka hasil minyaknya akan di bagi dua namun dengan syarat Raja Pandita harus menandatangi surat tersebut atau dilakukan penangkapan Raja Pandita. Permintaan tersebut tidak ditanggapi oleh Raja Pandita, karena Belanda sangat pandai bersilat lidah, politik adu domba, serta klaim ini dibuat sepihak tanpa melibatkan Raja Pandita. Hal tersebut membuat Sang Raja marah, dan memilih untuk melarikan diri karena Belanda terus menerus memaksa sang Raja untuk menyerahkan tanah dan minyak kepadanya.

Sebelum kepergian Raja Pandita, Belanda berucap, “Wahai Raja Bulungan, Jika Raja Pandita diasingkan, tanah dan minyak akan kita bagi dua, Belanda dan Bulungan," begitulah kira-kira perkataan Belanda sebelum Raja Pandita melarikan diri.

"Tapi Raja Pandita tidak mau, sehingga diasingkan ke Banjarmasin (Kalimantan Selatan). Dari Banjarmasin, dia mendapat istri bernama Teah," kata Nafsir saat diwawancarai di depan makam sang Raja.

Namun, perkataan tersebut tidak digubris oleh sang raja Pandita karena ia tau itu hanyalah kebohongan belaka. Setelah percakapan tersebut, Raja Pandita memilih untuk melarikan diri dan mencari tempat perlindungan agar Belanda tidak dapat menemukannya. Dari sekian banyaknya tempat yang ia singgahi dan selalu terciduk oleh Belanda. Setelah mencari-cari tempat untuk berlindung, ia akhirnya menemukan tempat lindung yang saat itu sangat jauh dari kerajaannya yang berada di Malinau, ia berlindung di Pulau Tidung. Keadaan pulau Tidung saat itu masih hutan dan tidak ada seorang pun yang menempati dan tinggal disana, hanya pulau Tidung Kecil yang ditempati warga, meski hanya beberapa saja. Hal ini dibenarkan juga oleh Rif’at Syauqi, anak dari Nafsir.

“Beliau menyembunyikan identitas asli beliau bahkan gelar Raja beliau. Jadi waktu itu tidak ada yang tau bahwa beliau adalah seorang Raja, termasuk anaknya sendiri. Beliau wafat di Pulau Tidung mungkin ketika para Penduduk sudah pindah dari Pulau Tidung kecil menuju ke Pulau Tidung besar saat ini," ucap Rif'at saat diwawancarai melalui WhatsApp (6/11).

Ketika pulau Tidung Besar mulai dihuni oleh penduduk yang dari pulau Tidung Kecil, beliau wafat sekitar tahun 1892l lanjut diasingkan ke Batavia. Pada tahun 2013 makam Raja Pandita dipindahkan ke tempat pemakaman umum (TPU) di samping KUA Pulau Tidung, yang sebelumnya berada di Tsanawiyah.

 

Penulis: Isnawati

Editor: Nira Yuliana

​​​​