Untuk Gondrongers : Mampus Kau Dikoyak-koyak Stigma

Untuk Gondrongers : Mampus Kau Dikoyak-koyak Stigma

"Gondrong doang lu nyopet kaga!" begitu ujaran kebencian bernada guyonan yang dilontarkan Pak Toyo (bukan nama sebenarnya), seorang warisan Orba yang menjunjung tinggi kerapihan agar terlihat lebih borjuis kemasannya.

Rambut gondrong memang menjadi hal yang ditakuti pemerintah masa lalu, khususnya pada era Soeharto menjabat saat Orde Baru. Saat itu pemilik rambut gondrong yang badai itu dianggap mempunyai mental pemberontak, sobat gondrong harus siap digenosida mahkota di kepalanya oleh pemerintah. Entah itu melalui peraturan daerah dan pusat, adanya razia rambut gondrong di jalan dan penanaman stigma bahwa gondrong itu kriminal yang digembor-gemborkan oleh media. 

Bahkan ada pelarangan gondrongers masuk televisi, kecuali Mas gondrong yang tersangkut kasus kriminal. Aduh diskriminatif banget ya! Jika saja zaman itu sudah ada Instagram,  gak akan ada tuh yang namanya akun berisi foto-foto sobat gondrong seperti yang beredar di Instagram sekarang #PrayForSobatGondrongOrba.

Di zaman sekarang yang sangat bertoleransi  dengan segala bentuk perilaku antar sesama saat ini , gondrong tidak menjadi urusan pemerintah seutuhnya lagi. Pemerintah sudah malas mengurusi rambut seseorang, tapi tidak dengan beberapa institusi pendidikan yang masih mewarisi prinsip Orba. Mereka masih saja menuntut murid-muridnya untuk rapi dan tidak menjadi diri sendiri, jika tidak sesuai dengan aturan itu, siap-siap deh sobat gondrong putih abu-abu atau putih biru akan didatangi malaikat pencabut kebebasan berekspresi di sekolah bersenjatakan sisir di tangan kirinya dan gunting ditangan kanannya. Beliau siap memodifikasi sobat gondrong menjadi sobat rapi bahkan sobat botak atau sobat grepes. memangnya gondrong dan belajar itu ada korelasinya?

Di kalangan masyarakat, stigma 'gondrong adalah kriminal' mulai bergeser menjadi 'gondrong adalah bentuk seni', tapi bukan air seni ya.

"Jangan ngaku anak seni kalo ga gondrong tuh rambut," begitu kata Stefanus Anak Senie, atau jika di kampus bisa terciri dari fakultas mana Mas gondrong yang lagi kongkow sama sobat gondrong lainnya.

"Wah anak Teknik tuh!"

"Wah anak DKV tuh!"

Seperti itu lah realita yang ada di kehidupan kampus saat ini, tetapi jika di kehidupan sehari-hari bagaimana ya?

Sebagian masyarakat tua yang melewati masa Orba dan tak mempunyai pikiran terbuka masih menganggap kalau gondrong adalah salah, apalagi ketakutan mereka terhadap populasi sobat gondrong yang naik akan menaikan kekhawatiran mereka terhadap kiamat—karena salah satu tanda kiamat adalah banyak laki-laki menyerupai perempuan. Bukankah itu ada sisi positifnya? Karena jika mulai banyak yang gondrong, masyakarat seharusnya mencoba lebih mendekatkan diri kepada-Nya atas kekhawatiran itu, bukan malah mencaci maki sobat gondrong.

(Darmawan)