PJS Melaporkan Dugaan Adanya Pelanggaran HAM di Panti Disabilitas Mental kepada Komisi XIII DPR

PJS Melaporkan Dugaan Adanya Pelanggaran HAM di Panti Disabilitas Mental kepada Komisi XIII DPR

Sumber Gambar: Dok/LPMProgress/RaihanAlFandi

 

LPM Progress – Senin (14/07) telah dilaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang diselenggarakan oleh Komisi XIII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) di Gedung Nusantara II, DPR RI. RDPU digelar guna merespons laporan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap penyandang disabilitas mental di berbagai panti sosial seluruh Indonesia. 

Rapat ini dipimpin oleh Wily Aditya selaku Ketua Komisi XIII DPR RI dan Yeni Rosa Damayanti selaku Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) Indonesia sekaligus pihak pelapor bersama dengan rekan dan empat korban lainnya.

Berdasarkan data yang diberikan oleh PJS, ada sedikitnya 13.500 jiwa yang saat ini sedang dikurung paksa di panti sosial. Angka tersebut diperkirakan bisa melampaui 20.000 orang, mengingat kurangnya sistem pelaporan dan tidak adanya pengawasan. Ketua PJS itu juga menambahkan para penyandang disabilitas mental kerap dimasukkan ke panti atas inisiatif keluarga atau aparat desa tanpa adanya proses peradilan.

“Tidak ada yang tahu pasti karena negara tidak pernah transparan,” ujar Yeni saat di ruang rapat DPR RI Komisi XIII, (14/07). 

Dalam penuturannya, Yeni mengungkapkan bahwa PJS yang diinisiasikan oleh para penyintas gangguan mental sudah berdiri sejak 2018 dan merupakan bagian dari Koalisi Nasional Organisasi Penyandang Disabilitas. Ia juga menjelaskan sudah lebih dari 10 tahun lalu laporan kekerasan telah disampaikan ke berbagai kementerian terkait, seperti; Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Hukum dan HAM.

PJS telah membawa kasus ini ke badan-badan internasional termasuk Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (Human Rights Treaty Bodies) agar merespons dengan mengeluarkan concluding observation yang menyatakan bahwa praktik di panti-panti sosial tersebut merupakan pelanggaran HAM berat dan merekomendasikan penghentian segera praktik tersebut.

Tidak hanya itu, Yeni juga memberitahu bahwa ia mendengar langsung kesaksian para korban yang mengalami perantaian, pemukulan, hingga pelecehan seksual di ruangan tanpa sekat dan tanpa diberikan fasilitas yang layak.

Adapun empat korban yang hadir dalam rapat tersebut turut serta menceritakan pengalaman traumatis yang dialaminya selama berada di dalam panti sosial. Muti, salah satu penyintas dari Panti Walisiri, Kebumen, menceritakan bahwa ia dirantai selama sembilan bulan tanpa akses terhadap pengobatan dan dipaksa buang air kecil dan besar di tempat tidur bersama pasien lain.

“Makan, tidur, dan buang air di tempat yang sama. Saya bahkan sempat dirantai ke semen,” ujarnya di ruang rapat DPR RI Komisi XIII, (14/07).

Lalu ada Halim, penyintas yang sempat ditahan dua tahun lebih, kini mengalami kebutaan akibat tidak mendapatkan perawatan untuk penyakit glaukoma. Ia mengungkapkan bahwa dirinya masuk ke dalam panti tanpa tahu siapa yang memasukkannya. Selama di panti ia mengaku dipukuli, dikurung, bahkan pernah dimandikan memakai sabun cuci baju.  

Hal serupa juga dirasakan oleh Durjo, korban dari Wonosobo, menceritakan bahwa dirinya dirantai selama lima bulan dan pernah dipukul menggunakan kunci Inggris karena dituduh memecahkan tembok. Ia juga mengaku bahwa setelah keluar dari panti kondisinya semakin stres dan trauma.

Lain halnya dengan Nina, korban dari Bekasi, mengaku nyaris diperkosa oleh sesama penghuni panti. Ia juga menyatakan bahwa kamar tidur bercampur antara laki-laki dan perempuan tanpa pembatas apapun. 

“Waktu itu habis subuh, ada kakek-kakek tiba-tiba meniduri saya,” ungkap Nina di ruang rapat DPR RI Komisi XIII, (14/07).

Dalam hal ini, Wily Aditya, selaku pimpinan rapat, menyoroti adanya praktik-praktik kekerasan yang meliputi pengurungan paksa tanpa dasar hukum, kekerasan fisik, kekerasan seksual, serta pelanggaran hak atas kesehatan, sanitasi, dan kebebasan komunikasi. 

Dengan demikian, Wily menegaskan bahwa DPR akan menindaklanjuti laporan tersebut secara serius dan akan mempelajari data serta testimoni yang telah diberikan oleh para penyintas dan Perhimpunan Jiwa Sehat.

“Ini bukan hanya pelanggaran HAM, tapi juga kejahatan kemanusiaan yang terjadi di institusi resmi. DPR akan mendorong penyelidikan mendalam, termasuk pemanggilan pihak kementerian dan lembaga terkait,” ujarnya di akhir rapat, (14/07).

PJS berharap Komisi XIII DPR RI bersama lintas komisi segera membentuk mekanisme perlindungan korban, mengosongkan panti-panti yang bermasalah, dan merancang undang-undang serta kebijakan pengawasan nasional yang berpihak pada hak penyandang disabilitas. Selain itu, mereka mendesak untuk desentralisasi sistem layanan kesehatan mental berbasis komunitas dan pendampingan sosial yang tidak diskriminatif.

 

Penulis: Raihan Al Fandi

Editor: Ghalda Bilqis Albania