Mengenal Definisi Islam Itu Indah Dari Buku “Tuhan Ada di Hatimu”
Sumber gambar: Dok/LPM Progress/Mutiara Puspa Rani
Judul buku : Tuhan Ada di Hatimu
Penulis : Husein Ja’far Al-hadar
Jumlah halaman : 207 halaman
Penerbit : Noura Books
Cetakan : Cetakan ke-8, September 2021
ISBN : 978-623-242-147-9
Beberapa waktu terakhir ini gue sering melihat beberapa teman mengaku sudah berhijrah dan sangat menyuarakan hijrah. Mulai dari sering mengirim hadist-hadist, menyebar kembali unggahan dari akun seputar Islam, memakai cadar, bercelana cingkrang, menyebar kembali hashtag #IndonesiaAntiPacaran, sampai mengirimi video orang yang sedang di ruqiah supaya gue berhenti menjadi K-Popers karena menurutnya K-Pop tidak sejalan dengan nilai-nilai keislaman. Karena gue tinggal di negara dengan mayoritas masyarakatnya beragama Islam, enggak jarang juga gue melihat beberapa orang sangat agamis. Saking agamisnya sampai mudah banget menghakimi orang lain pendosa karena orang lain enggak sesuai dengan apa yang dipahaminya. Gue enggak bilang hal-hal yang gue sebutkan tadi itu sepenuhnya salah. Tapi sering kali gue merasa, pesan yang ingin disampaikan itu ‘mental’ karena penyampaiannya yang enggak tepat. Gue yang notabene pemahaman agamanya masih cetek jadi berpikir, apa benar Islam agama yang cinta damai? Agama turun untuk mendamaikan, sekarang kenapa agama menjadi sumber kegaduhan?
Dimulai dengan pertanyaan sesat dari seseorang yang sesat juga, gue mencoba untuk mencari jawaban itu dengan menonton beberapa ceramah dan membaca buku. Salah satu buku yang gue baca adalah buku Habib Husein Ja’far Al Hadar yang berjudul Tuhan Ada di Hatimu. Awalnya gue sedikit skeptis dengan buku ini, karena tipikal buku-buku keagamaan itu ya bosenin (opini gue aja sih). Tapi, setelah gue baca bab pertama, buku ini benar-benar membuka pikiran gue dan membuat gue ketagihan untuk baca bab-bab selanjutnya.
‘Hijrah itu masih koma, belum titik!’ adalah judul bab pertama dalam buku ini. Menarik, karena awalnya gue berpikir hijrah adalah finalnya orang menjadi versi terbaik dalam beragama. Ternyata enggak juga. Justru dengan berhijrah banyak hal yang harus kita perhatikan selain aspek spiritualnya saja, tapi berbagai aspek keislaman lainnya. Contohnya aspek kultural dan sosial. Habib Ja’far banyak memberikan pembacanya kutipan menyentil namun tetap lembut saat dibaca, contohnya seperti “Kerendahan hati harus diutamakan. Jangan pernah merasa suci, karena begitu kita merasa suci, saat itu kita sedang kotor. Sebagaimana ketika kita merasa pintar, kita akan berhenti belajar, dan itu merupakan bentuk kebodohan.”
Selain itu, buku ini juga menyoroti tentang fanatisme beragama yang mungkin sudah sering kita dengar dan lihat. Menurut penulis, fanatisme merupakan prinsip, sikap, dan cara pandang yang ditentang oleh Islam. Kita dilarang fanatik dengan apa yang menurut kita benar. Padahal, Islam dengan nyata membedakan antara tegas dan keras. Islam agama yang tegas, tapi tidak keras. Nabi adalah pribadi yang tegas, tapi tidak keras. Nabi bahkan dikenal sangat lemah lembut. So, Islam itu lemah lembut dan damai, bukan keras dan mengkafirkan.
Menurut gue, buku ini cocok untuk pembaca yang baru mau memulai mengenal Islam dan mempelajari Islam lebih lanjut. Cara penyampaiannya yang ringan dan cenderung friendly, membuat isi dari pembahasan-pembahasan tentang Islam tidak terasa memusingkan dan susah dicerna. Hanya saja ada beberapa istilah yang memang harus kita cari sendiri artinya apa, contohnya seperti ayatisasi, takfiri, dan muhibbin.
Gue merasa kadar kesesatan dalam diri gue banyak berkurang. Buku ini benar-benar menjabarkan kelembutan dan Islam yang sesungguhnya. Islam mengajarkan kepada kita untuk fokus utamanya kepada diri sendiri. Gerak pertama yang harus dilakukan adalah ke dalam (diri) sebelum ke luar (orang lain). Satu hal yang sangat cocok dengan keadaan islam saat ini, islam seperti gelas bening yang saat diisi kopi ia seolah hitam dan saat diisi jeruk seolah kuning, padahal ia tetap bening.
Penulis : Mutiara Puspa Rani
Editor : Nur Muhammad Ihsan