Anonymous Chat, Channel Telegram yang Disalahgunakan Untuk Pelecehan Seksual

Anonymous Chat, Channel Telegram yang Disalahgunakan Untuk Pelecehan Seksual

Ket. Gambar: Ilustrasi Anonymous Chat Telegram. Sumber: LPM Progress

 

LPM Progress - Teknologi digital kini bukan lagi menjadi sesuatu barang mewah seperti sedekade yang lalu. Saat ini penggunaan teknologi digital lebih mudah dijangkau. Hal ini karena perkembangan teknologi yang kian hari, kian dikebut mengikuti perkembangan revolusi industri 4.0. Sayangnya, kemajuan teknologi digital tidak diimbangi dengan pendidikan serta tanggung jawab pengunaannya. Dampaknya yang paling terasa saat ini tentu saja adalah semakin meningkatnya kekerasan pada ranah digital.

Kasus kekerasan seksual juga terjadi pada sebuah aplikasi pesan Telegram. Beberapa waktu belakangan, kasus kekerasan seksual pada sebuah channel di aplikasi pesan Telegram beredar di dunia maya. Kasus kekerasan seksual ini terjadi karena adanya sebuah channel bernama Anonymous Chat yang diatur oleh bot atau sebuah akun yang dapat bertindak secara otomatis.

Dalam kanal itu seseorang bisa terhubung oleh siapa pun, kapan pun dan dimana pun. Menariknya seseorang akan terhubung tanpa harus mengikuti atau menambahkannya sebagai teman, karena akan dihubungkan oleh bot. Akan tetapi dikarenakan tindakan otomatis tanpa pembatasan, hal ini membuat pengguna Anonymous Chat mengalami kekerasan seksual. Seperti yang dialami oleh 3 remaja perempuan yang berhasil diwawancarai oleh Tim Progress.

 

Baca juga: Jangan Beri Ruang terhadap Pelaku atau Korban menjadi Korban Berulang Kali

 

Tiga remaja ini mencoba Anonymous Chat karena ingin mencoba-coba setelah melihat beredar sebuah utas pada salah satu base di Twitter. Remaja perempuan berinisial BNG, TK dan ARL mencoba Anonymous Chat karena ingin mencari teman ngobrol dan tambahan pengikut di media sosial. Sayangnya, BNG yang masih berusia 17 tahun itu tiba-tiba saja dikirimi sebuah rekaman suara berisi desahan perempuan yang dilanjutkan dengan chat dari pelaku.

 

“Sange in dong.. Mau gue jilatin ga.. Gue jilatin 2 jam nonstop.. kirim suara desahan.. Mau ga?” begitu pelaku mengirimkan chatnya pada BNG.

 

Menurut BNG ketika diwawancarai, kejadian seperti itu bukanlah pertama kalinya terjadi ketika dia menggunakan Anonymous Chat. Hanya saja kejadian itu menjadi kejadian paling ekstrim yang dialami oleh BNG, karena langsung dikirimi suara desahan dari pelaku. Pada kejadian sebelumnya seseorang hanya memintanya mengirimkan gambar yang berakhir dengan skip, sebuah perintah untuk mengakhiri obrolan.

Berbeda dengan BNG, 2 remaja perempuan TK dan ARL justru mengalami tindakan yang lebih ekstrim daripada yang dialami BNG. Mereka berdua pernah langsung dikirimi gambar kelamin pelaku. Kedua remaja yang masih duduk di bangku awal SMA itu mengaku sangat tidak nyaman dan takut. Bahkan, ARL mengaku trauma hingga langsung menghapus kembali aplikasi Telegram.

Chat Sex. Bukan vcs [video call sex] kak. Iya, takut. Sempet engga bisa proses sekitar. Bener-bener deg-degan. Walaupun cuman gambar, tapi kan termasuk hal ilegal untuk disebar. Bikin trauma,” ungkap ARL ketika dihubungi melalui pesan di Twitter.

Tim Progress pun mencoba menelusuri dengan cara menggunakan aplikasi Telegram salah satu tim dan menggunakan channel Anonymous Chat. Tidak perlu waktu lama hanya 4 kali bertemu dengan orang lain di saluran itu, seseorang yang bernama Reza berusia 17 tahun dari Cilacap, Jawa Tengah, langsung meminta dikirimkan gambar setengah telanjang. Ketika coba diulur-ulur oleh Tim Progress, remaja putra yang duduk di kelas 2 SMA ini terus merayu dan memaksa untuk dikirimkan gambar. Hingga akhirnya tim kami memilih mengakhiri chat tersebut.

Kekerasan seksual di ranah digital memang terus meningkat, apalagi dampak pandemi yang memindahkan hampir 80% kegiatan masyarakat ke dunia digital. Dikutip dari id.safenet.or.id, laporan tentang penyebaran konten intim secara non-konsensual telah meningkat sebesar 375% (169 kasus). Hal itu berkaitan tentunya dengan pandemi Covid-19 yang berkaitan dengan meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan pada ranah digital.

 

Penulis : Yazid Fahmi

Editor : Refa Tri Ustati