Pemerkosaan 98 Bukan Rumor, API Menuntut Fadli Zon Menyampaikan Permintaan Maaf

Pemerkosaan 98 Bukan Rumor, API Menuntut Fadli Zon Menyampaikan Permintaan Maaf

Sumber Gambar: Irma Faurina

 

LPM Progress - Aliansi Perempuan Indonesia (API) mengecam pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyatakan bahwa tidak ada bukti kuat atas kasus pemerkosaan massal terhadap perempuan Tionghoa dalam Kerusuhan Mei 1998. Pernyataan tersebut dianggap melukai para penyintas, mengabaikan catatan sejarah kekerasan seksual, dan menunjukkan sikap tidak peduli negara terhadap tragedi kemanusiaan tersebut.

Dalam pernyataannya, API menyebut pernyataan Fadli Zon mencerminkan pengingkaran negara terhadap kasus kekerasan seksual yang sebenarnya telah banyak dilaporkan. Bukti-bukti kasus berasal dari kesaksian para penyintas, dokumentasi organisasi masyarakat sipil, hingga hasil kajian akademik.

Tuba Fallopi dari Forum Aktivis Perempuan Muda (FAMM) Indonesia menilai bahwa pernyataan Fadli Zon sebagai pemicu luka lama para penyintas kekerasan seksual, termasuk dirinya. Menurutnya, pernyataan tersebut memperkuat kesan bahwa negara terus mengabaikan penyelesaian dan pemulihan bagi para korban kekerasan seksual dalam tragedi Mei 1998. Ia juga menyoroti bagaimana negara justru berupaya menulis ulang sejarah yang menihilkan pengalaman dan perjuangan perempuan. 

“Pernyataan Fadli Zon yang menyebut kekerasan seksual dalam kerusuhan 1998 hanya sebagai rumor secara langsung telah meminggirkan tubuh perempuan dan menegaskan pengabaian negara,” tegas Tuba Fallopi dalam Konferensi Pers secara daring, (14/06).

Sikap serupa juga disampaikan oleh Nur Suci Amalia dari Perempuan Mahardhika. Ia menilai bahwa pernyataan tersebut mencerminkan sikap pemerintahan Prabowo yang tidak menunjukkan komitmen dalam menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia. Pernyataan itu juga dinilai sebagai bentuk pengingkaran sejarah yang berbahaya karena berpotensi membuka ruang terjadinya kembali kekerasan terhadap perempuan. 

“Ini menunjukkan bagaimana negara terus memelihara luka dengan sengaja menghilangkan dan tidak mengakui pemerkosaan pada Mei 1998,” ujar Nur Suci Amalia dalam Konferensi Pers secara daring, (14/06).

Sementara itu, Sari Wijaya dari Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) menilai pernyataan Fadli Zon sebagai bentuk kegagalan memahami etika dalam membaca sejarah. Ia menyayangkan sikap seorang Menteri Kebudayaan justru meragukan peristiwa yang telah terdokumentasi melalui berbagai laporan dan riset, sementara kasus kekerasan seksual yang dikatakan rumor itu memiliki data dan advokasi yang sudah dilakukan, serta diakui pada pemerintahan B.J. Habibie.

Tak hanya itu, berbicara sejarah Reformasi 98 tidak hanya tercatat dalam buku sejarah atau karya akademik, melainkan juga terekam dalam karya sastra. Siti Ummul Khoir dari Koalisi Perempuan Indonesia menekankan pentingnya karya sastra sebagai dokumen sejarah alternatif yang turut merekam tragedi tersebut. Ia merujuk pada cerpen Clara karya Seno Gumira Ajidarma yang menarasikan pengalaman perempuan korban kekerasan seksual dalam peristiwa Mei 1998.

“Sastra tidak lahir dari budaya yang kosong. Sastra hadir sebagai representasi realitas sosial dan merekam pengalaman kolektif masyarakat,” ujar Siti Ummul Khoir dalam Konferensi Pers secara daring, (14/06).

Aliansi Perempuan Indonesia bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil juga menuntut Fadli Zon untuk menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Selain itu, gerakan perempuan ini juga mendesak negara agar menghentikan upaya penulisan ulang sejarah yang memicu kekerasan terhadap perempuan. 

 

Penulis: Irma Faurina

Editor: Khoiru Nisa