'Positive Vibes' yang Tidak Selamanya Positif
Sumber gambar: Pinterest
LPM Progress — Toxic positivity bukan hal asing dalam kehidupan, malah justru sudah menjadi bagian dari hidup itu sendiri. Toxic positivity adalah sebuah konsep yang mempertahankan sikap positif dan menangkis perasaan negatif untuk menjalani hidup. Banyak orang berpikir apabila selalu bersikap positif adalah suatu hal yang bagus. Selalu memiliki mindset ‘good vibes only’ dan menangkis segala kenegatifan akan membuat hidup lebih mudah dijalani. Tapi, orang sering kali lupa bahwa mereka juga manusia yang memiliki banyak emosi selain emosi bahagia. Mengubur dalam-dalam perasaan negatif akhirnya menjadi pilihan supaya tidak terlihat galak atau emosional.
Bersikap positif bukan berarti tidak baik. Tapi, dalam beberapa hal, sikap positif bisa menjadi "racun" untuk diri kita sendiri. Daripada mengedepankan empati atau mencari solusi, manusia justru terbiasa terjebak dengan toxic positivity. Misalnya, ketika sedang merasa sedih dan memiliki banyak masalah, berbagi cerita adalah salah satu hal yang bisa menjadi cara untuk meringankan beban, tapi sebagian orang itu justru merapalkan mantra-mantra, seperti:
“yuk, bisa yuk”
“lihat sisi positifnya aja”
“semua akan baik-baik aja, kok”
“coba positive thinking dulu”
“sabar yaa..”
"coba deh, kamu husnuzan dulu"
Berpikir dan bersikap positif tidak selalu menjadi cara terbaik menghadapi masalah. Dalam hal ini, saling menjadi pendengar yang baik dan memvalidasi perasaan yang sedang dirasakan lawan bicara akan membantu sesama manusia. Bukan justru memberikan semangat kosong dan ekspetasi yang pada akhirnya akan membuat lawan bicara semakin 'jatuh'. Perasaan-perasaan negatif yang dirasakan tidak selamanya buruk untuk diri sendiri. Justru, dengan jujur pada apa yang dirasakan, kita bisa mengetahui respon apa yang harus kita lakukan dan bantuan seperti apa yang dibutuhkan. Dengan menangkis perasaan seperti sedih, marah, atau kecewa dapat membuat jiwa tertekan dan tidak menyelesaikan masalah itu sendiri. Justru dengan memendamnya, suatu saat emosi itu bisa meledak sewaktu-waktu karena selalu bersikap denial dengan emosi-emosi tersebut.
Menurut Psychology Today, "Emotions are not good or bad. Instead, think of them as guidance: emotions help us make sense of things". Maksudnya adalah anggap saja emosi sebagai panduan untuk memahami banyak hal. Misalnya, mengkhawatirkan suatu hal, artinya peduli dengan persepsi yang ada.
Jadi, apa yang harus dilakukan untuk menghindari toxic positivity?
Terima setiap emosi yang dirasakan. Mempunyai perasaan negatif bukan berarti kita juga 'a negative person'. Walaupun jujur dan menerima perasaan negatif itu sulit, tetapi itu lebih baik dari pada berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Memperhatikan dan menerima setiap emosi juga salah satu bentuk self love, loh.
Baca juga: Saatnya Kalian Putus Sama Pacar Toxic!
Untuk itu, cobalah saling menjadi pendengar yang baik, belajar lebih berempati, dan memvalidasi perasaan yang dimiliki diri sendiri maupun orang lain. Karena, jika hanya dengan mendoktrin ‘stay positive’ tidak akan membantu menyelesaikan masalah yang ada.
Penulis : Mutiara Puspa Rani
Editor : Fadia Aulia