Saatnya Kalian Putus Sama Pacar Toxic!

Saatnya Kalian Putus Sama Pacar Toxic!

Sumber Gambar : avivirla.com

LPM Progress – Indonesia adalah negara yang memiliki banyak budaya, selain budaya falling in love with people we can’t have ternyata Indonesia juga memiliki budaya bertahan dalam hubungan yang menyesatkan. Ya, tentunya hubungan yang dimaksud di sini adalah berpacaran.

Berpacaran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti bercintaan; berkasih-kasihan. Tentu artinya benar jika kita berpacaran dengan orang yang tepat, tapi jika salah, jangan kaget jika kata cinta tersebut bisa berubah menjadi petaka.

Sebelum masuk ke pembahasan utama, saya termasuk orang yang senang menanggapi curhatan orang lain. Acap kali, saya ini dianggap sebagai pendengar yang baik oleh teman-teman saya, dalam seminggu pasti ada saja teman yang curhat perihal masalahnya, terutama masalah percintaan dengan kekasihnya.

Apakah saya merasa terbebani dengan cerita-cerita teman saya? Tentunya tidak, berbagi kisah itu bukan berbagi beban. Terlebih mereka hanya ingin didengar, walau kadang meminta saran. Hanya saja, saya masih kurang mengerti, kenapa kebanyakan masalah yang dihadapi teman-teman saya adalah masalah yang sangat mengganggu akal sehat?

Melansir dari Tirto.id, toxic relationship adalah sebuah hubungan yang ditandai dengan perilaku-perilaku ‘beracun’ yang merusak fisik maupun emosional diri sendiri maupun pasangan. Saya memang tidak begitu paham mengenai istilah tersebut, tapi saya menggunakan logika saya sepenuhnya untuk mencoba memahami segala permasalahan percintaan yang teman saya alami, dan ternyata itu termasuk ke dalam toxic relationship.

Salah satu ciri toxic relationship adalah sarkasme. Salah satu cerita yang diceritakan oleh teman saya adalah sarkasme dalam hubungannya. Parahnya, sarkasme yang dikeluarkan bukan lagi dalam ranah chat personal, melainkan diluapkan di media sosial. Kalimat umpatan secara terang-terangan dikeluarkan pasangannya acap kali mereka bertengkar karena satu masalah. Sarkasme tentunya sangat berseberangan dengan kasih sayang. Teman saya tetap sabar menghadapinya, ia menganggap itu sebagai salah satu bentuk dari perjuangan. Hanya saja, nampaknya ia berjuang sendirian sementara kekasihnya masih sibuk memikirkan kalimat umpatan apa yang belum keluar.

Lalu ciri berikutnya adalah merasa stres dan frustasi. Ini keluhan yang sering saya temui, alih-alih berpacaran sebagai tempat bercerita dan tempat bersandar, justru malah menjadi sumber dari segala masalah dan juga penyebab munculnya gejala stres.

Baca juga : Prevalensi Depresi di Indonesia

Mengikuti segala kemauan pasangan sampai melupakan kesehatan dan kebahagiaan diri sendiri juga merupakan ciri dari toxic relationship. Bagaimana bisa membuat pasangan bahagia jika diri sendiri saja belum bahagia? Bahagiakan dirimu terlebih dahulu, baru bahagiakan orang lain. Sebetulnya banyak ciri-ciri lain, saya hanya menjabarkan beberapa di antaranya.

Kebanyakan kasus-kasus yang terjadi tak pernah dianggap sebagai masalah yang serius untuk dibahas dan diselesaikan. Di setiap pertengkaran seperti mengeluarkan sarkasme memang bisa mereda dalam waktu yang tak terlalu lama, namun jika tak dibahas sebagai suatu masalah, maka kejadian tersebut akan terus berulang.

Harusnya setiap masalah yang muncul diselesaikan dengan dibicarakan sebaik-baiknya, sebab tindakan seperti mengeluarkan kalimat umpatan tak akan menyelesaikan masalah, kisanak. Memang sulit ya, jika harus berbicara berdua dengan kepala dingin lalu membahas pokok permasalahannya? Bukankah itu jauh lebih baik?

Kebanyakan orang sebetulnya sadar jika ia berada dalam toxic relationship, hanya saja, karena jangka waktu hubungan yang cukup lama, menjadikan seseorang enggan meninggalkan zona ini. Tentu saja berpacaran dalam hitungan tahun kemudian berpisah bukan perkara mudah. Akan tetapi jika tak bahagia, ya buat apa juga?

Ada pepatah yang mengatakan bahwa love is blind. Cinta dapat membutakan mata, bahkan juga akal sehat. Semua kesalahan dan kejanggalan dimaklumi atas nama cinta. Jika love is blind dimaknai sebagai tanda bahwa mencintai memaklumi fisik, saya masih sepakat, namun jika dimaknai sebagai pemakluman atas kebodohan, saya 100% tidak sepakat.

Menurut saya sendiri, mau bagaimana pun keadaannya, kita harus tetap keluar dari zona tersebut. Meski memang tak semudah yang dipikirkan. Jika sudah berupaya semaksimal mungkin, namun tak menunjukan dampak positif, ya memang lebih baik ditinggalkan. Kalau kata Mas Kunto Aji dalam lagunya yang berjudul Sulung, “yang sebaiknya kau jaga adalah dirimu sendiri".

Dengan berakhirnya tulisan ini, saya sepenuhnya mendukung gerakan Indonesia Tanpa Pacaran Toxic Relationship.

 

Penulis  : Muhammad Fasha Fadillah

Editor     : Astin Kho