Di Tangan Demagog: Bagaimana Demokrasi Ormawa Unindra Mati?
Ilustrasi oleh Tim Konten LPM Progress
LPM Progress — Tiga hari yang lalu, saya melihat kalender pada ponsel, tepat hari itu tanggal 25 Januari 2021. Saya tahu bahwa ini adalah tahun baru dan awal tahun. Banyak harapan dan impian dalam benak. Salah satunya, semoga tahun ini membawa perubahan yang signifikan pada Ormawa (Organisasi Mahasiswa) Unindra.
Mulai dari sistem, mental mahasiswanya, gaya kepemimpinan, dan tentunya demokrasi benar-benar membumi. Bukan hanya jauh panggang dari api atau jargon-jargon omong kosong yang diteriakkan depan mahasiswa baru.
Saya baru ingat, tahun lalu tidak ada pesta demokrasi mahasiswa dalam rangka memilih Ketua Umum Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), dan Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEM F). Mungkin urung terlaksana karena pandemi. Faktor kesehatan mahasiswa mungkin lebih penting daripada pesta-pestaan demokrasi ala Ormawa itu.
Saya dengar kabar, katanya, periode pengurus Ormawa tahun lalu diperpanjang setahun dengan alasan pandemi. Gara-gara virus banyak kegiatan Ormawa tertunda dan tidak sesuai yang direncanakan. Makanya, perpanjang setahun lagi menjadi pilihan yang logis bagi mereka untuk menuntaskan program kerja.
Perlu digaris bawahi, tidak semua Ormawa memperpanjang periode. Ada beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang tetap melakukan pemilihan ketua, baik itu secara daring maupun luring dengan mematuhi protokol kesehatan.
Lantas, saya segera tersadar dari halusinasi. Harapan, impian perubahan, dan demokratisasi Ormawa nampaknya hanya angan-angan bagaikan pungguk merindukan bulan. Lupa kalau pemimpinnya masih yang lama. Betapa cita-cita demokratisasi tidak akan pernah tercapai bila di tangan pemimpin yang anti-demokrasi.
Wah ngawur, masa pemimpin yang kerap menyuarakan aspirasi rakyat dibilang anti-demokrasi? Wong, tahun lalu mereka suka demo menolak Omnibus Law. Di mana anti-demokrasinya? Demo itu kan bagian daripada demokrasi.
Saya flashback tahun lalu sejenak. Betapa banyak hiruk-pikuk, baik yang saya alami atupun amati. Sekitar awal pandemi, LPM Progress melakukan jajak pendapat mahasiswa terkait perkuliahan daring. Salah satu mahasiswa prodi Pendidikan Matematika menyebar kuesioner itu dalam WhatsApp Group. Namun, Ketua Umum BEM Universitas menyuruhnya menghapus link kuesioner tersebut dengan alasan bahwa itu ilegal.
Bulan Februari lalu, BEM Universitas kembali menghambat kerja jurnalistik LPM Progress. Ketika jurnalis LPM Progress melakukan riset jumlah mahasiswa yang aktif berorganisasi dalam kampus. Mengutip editorial LPM Progress – bahwa Ketua BEM Fakultas Bahasa dan Seni mengakui dirinya berkoordinasi dengan salah satu anggota BEM Universitas, sebelum memberikan data yang diminta jurnalis Progress.
Pada bulan Juni, lagi-lagi BEM Universitas di bawah pimpinan Yudha menghambat kerja-kerja jurnalistik. Ketika LPM Progress akan mengadakan wawancara eksklusif dengan Rektor, Sumaryoto, mengenai kondisi Unindra di masa pandemi. BEM Universitas dan DPM dengan sadar meminta kepada rektor supaya LPM Progress berkoordinasi dulu sebelum wawancara tersebut.
Namun, LPM Progress bersikukuh tidak mau berkoordinasi karena kerja-kerja jurnalistik haruslah independen. Tidak perlu berkoordinasi dengan siapapun. Pada gilirannya, itu menyebabkan rektor enggan meneruskan wawancara eksklusif.
Puncaknya adalah saat BEM Universitas dan (DPM) sepakat untuk memperpanjang masa kepengurusan mereka selama setahun. Dan tidak mengadakan Pemilihan Raya (Pemira). Mereka menganggap banyak program kerja yang terhambat karena pandemi dan mesti diselesaikan dahulu.
Seorang pemimpin bisa dikatakan anti-demokrasi bila menunjukkan perilaku otoriterianisme. Mengutip buku Bagaimana Demokrasi Mati (karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt), Juan Linz, ahli ilmu politik Universitas Yale Amerika Serikat. Dia mengabdikan sebagian besar karirnya untuk mencoba mengerti bagaimana dan mengapa demokrasi mati. Banyak kesimpulan Linz bisa ditemukan di buku kecil perintis berjudul The Breakdown of Democratic Regimes. Buku yang terbit tahun 1978 itu menyoroti peran politikus – pada ranah organisasi mahasiswa ialah mereka yang terlibat dalam perebutan kekuasaan atau mereka yang karena kedudukannya sehingga dapat membuat kebijakan. Menunjukkan bagaimana perilaku mereka bisa memperkuat atau mengancam demokrasi (halaman 10).
Berdasarkan karya Linz, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya Bagaimana Demokrasi Mati. Telah mengembangkan satu set berisi empat tanda peringatan terkait perilaku yang bisa membantu kita mengenali tokoh otoriter. Kita sebaiknya khawatir apabila seorang politikus – dalam ranah organisasi mahasiswa adalah pemimpinnya: 1. Menolak aturan main demokrasi dengan kata-kata atau perbuatan; 2. Menyangkal legitimasi lawan; 3. Menoleransi atau menyerukan kekerasan, atau; 4. Menunjukkan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media (halaman 11 – 12).
Saya terangkan yang dimaksud dengan menolak aturan main demokrasi adalah melakukan penolakan atau menunjukkan kesediaan melanggar konstitusi – dalam hal organisasi mahasiswa ialah AD/ART. Melakukan cara-cara anti-demokrasi, seperti membatalkan Pemilihan Raya (Pemira), melarang organisasi tertentu atau membatasi hak asasi manusia dan politik.
Dalam kaitannya dengan BEM Universitas dan DPM, keduanya bersepakat memperpanjang masa jabatan. Padahal, itu tidak diatur atau tidak diperbolehkan dalam pedoman organisasi intra kampus Keluarga Besar Mahasiswa Unindra (KBMU)
Kemudian, saya jelaskan yang dimaksud menunjukkan kesediaan membatasi kebebasan sipil, termasuk media adalah tindakan yang jelas-jelas menghambat kerja jurnalistik dan juga menghalang-halangi kebebasan seseorang dalam menentukan kehendaknya.
Pada kasus BEM Universitas yang sudah saya jelaskan di atas, bahwa dengan terang mereka membatasi kerja-kerja jurnalistik dan menghalangi kebebasan individu seseorang – dalam hal ini untuk menyebarluaskan kuesioner LPM Progress.
Secara tegas dan terang saya katakan bahwa BEM Universitas dan DPM Unindra periode saat ini anti-demokrasi. Sebab, bila mengutip Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya Bagaimana Demokrasi Mati – politikus yang memenuhi satu saja syarat tadi sudah mengkhawatirkan dan dapat dikatakan bahwa mereka adalah demagog penghancur demokrasi kita (Ormawa Unindra).
Atas dasar itu, saya tidak bisa berharap dan bermimpi akan adanya perubahan serta demokratisasi dalam Ormawa selama para pemimpinnya adalah demagog penghancur demokrasi itu sendiri. Cukuplah harapan dan impian tersebut tersimpan rapi dalam jiwa dan pikiran, hingga datangnya – meminjam istilah Ramalan Jayabaya, Satrio Piningit.
Penulis : Achmad Rizki Muazam
Editor : Alinda Dwi Agustin