Gadis Penari

Gadis Penari

Sumber gambar Dok/LPMProgress/Larashati

 

 

Kala mendengar jari-jemari beradu dengan tuts piano, dan bercampur satu dengan irama lainnya, rasanya seperti terikat dengan gadis penari balet. Seiring dengan bergantinya lekuk tubuh gadis menari, ada kilasan berganti yang ikut ia bawa sembari menari itu.

Ia menari elok, tubuhnya bergulat riang tanpa sangsi ada padanya, begitupun kilasan yang ia bawa dengan gerak tubuhnya. Ada lorong panjang yang ia ikuti sambil menari, lorong itu dalam sekali, tapi jika kau ikuti semakin dalam, semakin cepat juga pergerakan lekuk tubuh gadis penari tersebut.

Ia mau kemana? Kemana pun tak ada yang tahu, ia hanya menari saja tanpa tujuan, mengikuti alunan musik yang masih mengiringinya sejak tadi. Tubuhnya melenggok ke kanan, ia lenggokkan lagi ke kiri, loncatan-loncatan indah bak angsa terus ia ulangi, putaran kakinya yang melingkar seraya melompat-lompat kecil, ataupun berjalan jinjit-jinjit hingga ia berhenti pada langkah panjang. Ia bernafas, mengatur nafasnya kembali, dan memulai menari lagi. Semakin cepat iringan musiknya, semakin cepat juga ia berpindah-pindah melekukkan tubuhnya. Perpindahannya pun tanpa ragu, layaknya kadung menari, ia sungkar untuk berhenti.

Kala iringan musik melambat, ia pun melambat, meski begitu ia tetap menari. Aku pun sedikit bosan mengikutinya, ia hanya menari saja. Tapi mengapa juga aku mengikutinya? Apa mungkin hal yang ia tuju sama denganku?

Aku terdiam, seribu langkah sudah ku jalani mengikuti gadis penari itu, sesuatu yang seperti itu jarang-jarang ku lakukan. Tapi aku senang berjalan yang tanpa sadar seperti ini, membuatku sedikit hidup untuk tak hanya fokus pada satu hal.

Ah, tunggu, kemana gadis penari itu? Cepat sekali ia melangkah dalam menarinya mengikuti lorong dalam itu. Kalau sudah kehilangan bisa gila aku! Kejaranku masih sampai pada gadis penari itu, ia masih menari dengan iringan musik yang mulai melambat.

Ketika iringan musik itu benar-benar melambat, maka selanjutnya hening.

Oh, apa sudah selesai? Apa ia sudah memasrahkan dirinya tuk berhenti?

Oh, aku terkejut, gadis penari itu malah semakin lincah, ia bak cacing kepanasan. Apa yang mau ia tunjukan kepadaku? Meski membuat penasaran, iringan musik yang seirama dengan lenggokkan tubuhnya membuatku tak sepenasaran sebelumnya. Sepertinya malah aku yang pasrah, kemana gadis penari itu yang akan membawaku.

Ia melingkar-lingkari sudut jalan-jalan itu, sembari kembali berjinjit-jinjit kecil, kepalanya ikut mengayun, jentik jari-jarinya ikut bermain. Aduhai, tak kuasa aku ingin menyambanginya juga, menari dan membuat seluruh tubuhku ikut berlekuk-lekuk. Ketika aku hampir ikut menari bersamanya, ia berhenti. Kilasan kembali berganti bersamaan dengan alunan musik.

Kali ini melekukkan tubuhnya dengan kaku, wajahnya biasa saja, tak ada ekspresi. Apa kali ini ia marah? Atau kecewa? Ia tidak bicara, ia hanya menari. Ah, sirna sudah niatku tuk bergabung menari dengannya. Lekuk tangan kakunya menari juga bicara, acap kali tangan itu diusapkan pada wajahnya. Jentikan jarinya menghiasi gerik-gerik di depan matanya.

Apa, apa yang perlu aku tahu dari geriknya kali ini? Perlukah aku takut atas apa yang ingin ia beritahu?

Matanya berkali-kali melotot, sendu-sendu dan berair, lalu kembali berpaling hilang pandangan padaku. Aku terdiam, persis dimana ia melototiku dan melihat semakin menjauhnya gadis itu berlenggok. Ia seakan menari untuk mengejekku, sebelum ia menjauh, berkali-kali ia ikut memutariku juga mengaluniku dengan iringan musik itu. Setelah semakin menjauh, aku rasakan hampa pun hening. Aku tidak suka kesunyian yang seperti ini, sunyi mendalam seperti ini semakin membuatku jengkel dan marah. Dalam sunyi mendalam itu aku hanya bisa mendengar jantungku berdetak.

"Tidak, tidak ia semakin menjauh," gumamku sendiri. Aku berjalan dan sedikit demi sedikit berlari mencari gadis penari itu.

Aku temukan, anehnya aku tidak bisa mendengar iringan musik yang datangnya bersamaan dengan gadis penari itu, tetapi ia tetap menari. Bagaimana aku bisa melihat keindahan yang sempurna bila suara musiknya saja aku tak bisa dengarkan. Bagaimana? Daripada terus kehilangan gadis penari itu, aku mengikutinya dengan ajek, sesekali juga menyipitkan mata.

Gadis penari itu menari dengan lamban, sesekali ia berputar lagi tetapi dengan tempo yang lebih pelan lagi hingga ia baringkan tubuhnya meringkuk pada lorong panjang ini. Semakin aku menyipitkan mata, semakin aku tak dapat melihat apa-apa.

"Loh, kenapa mataku buram?" gumamku lagi. Penglihatanku kabur, alunan musik beserta gadis penari hilang dengan buramnya mataku. Sesekali aku menatap pada objek lain, mataku kembali pulih, tidak ada yang buram, tidak ada yang kabur. Lalu mengapa gadis penari itu tidak ada?

Aku hanya diam, terus bertanya-tanya, kemana tujuanku? Kemana? Aku harus apa? Kemana gadis penari itu? Sudikah ia meninggalkanku sendiri di sini? Aku memberanikan diri berjalan, berjalan yang masih menelusuri lorong dalam ini. Aku berjalan, lalu berlari mencari jalan keluar dari lorong dalam ini. Seiring dengan pelarianku, iringan musik bergema pada telingaku.

Iringan musik itu seperti sebuah perpaduan piano, biola, ataupun drum yang dihentak berkali-kali. Kala mendengar jari-jemari beradu dengan tuts piano, dan bercampur satu dengan irama lainnya, rasanya seperti terikat dengan tubuhku penari. Seiring dengan bergantinya lekuk tubuhku menari, ada kilasan berganti yang ikutku bawa sembari menari itu.

Aku menari elok, tubuhku bergulat riang tanpa sangsi ada padaku, begitupun kilasan yang ku bawa dengan gerak tubuhku. Ada lorong panjang yang ku ikuti sambil menari, lorong itu dalam sekali tapi jika ku ikuti semakin dalam, semakin cepat juga pergerakan lekuk tubuhku.

Aku mau kemana? Kemana pun tak ada yang tahu.

Selesai.

 

Penulis: Larashati Crita Annisa Siswoyo

Editor: Nurheni Ahra Sella