Jangan Beri Ruang terhadap Pelaku atau Korban menjadi Korban Berulang Kali
Ilustrasi meminta pertolongan. (sumber: Unsplash.com)
“Kenapa diam saja tidak melawan?”
“Kenapa tidak teriak?”
“Kenapa baru lapor sekarang?”
“Kamu membalas pesan (cabul)-nya, berarti kamu setuju?”
“Apakah pakaianmu berdada rendah atau tembus pandang?”
“Pakaian apa yang kamu pakai saat itu?”
Kalimat pertanyaan itu selalu membuat saya menggeleng-gelengkan kepala, ketika ada seseorang yang bertanya dan berkomentar tentang kekerasan seksual. Saya sedang tidak ingin berbicara patriarki ataupun agama—meskipun kekerasan terhadap perempuan yang di dalamnya ada kekerasan seksual, berakar dari patriarki. Tulisan ini menjadi sebuah otokritik terhadap individu dan institusi yang tidak memiliki perspektif korban dalam menangani kasus kekerasan seksual.
Tidak pernah ada yang ingin menjadi korban, entah apapun bentuk kekerasannya apalagi kekerasan seksual. Barangkali menjadi korban kekerasan seksual adalah mimpi buruk yang tidak bisa dilupakan seumur hidup. Menjadi korban kekerasan seksual tidak seringan dalam pikiran kita, bahwa hanya terjadi luka fisik saja. Lebih daripada itu, seorang korban bahkan mengalami luka psikis yang memiliki dampak seumur hidupnya. Sayangnya, kebanyakan dari komentator selalu memberi komentar tentang yang terjadi tanpa memikirkan seorang korban kekerasan seksual menjadi korban kembali.
Luka fisik bisa saja sembuh dengan penanganan klinis, tapi berbeda dengan luka psikis pada korban. Seseorang sering kali memiliki sudut pandang ingin tahu apa yang terjadi pada korban dan memaksanya terus bercerita dengan lengkap. Padahal memaksakan seseorang bercerita tentang apa yang dialami korban, sama seperti menjadikan korban kembali menjadi korban (reviktimisasi). Begitu sulitnya melupakan kekerasan seksual yang pernah dialaminya, seorang korban bahkan bisa mengalami trauma bertahun yang sulit disembuhkan.
Beberapa saat yang lalu, saya berkesempatan bertemu dengan korban kekerasan seksual. Saat itu dia datang dengan raut wajah ketakutan, pikiran yang sepertinya bingung serta tidak mampu bercerita dan selalu saya suruh berhenti jika memang tidak mampu untuk bercerita, atau diceritakan pendamping korban. Saya masih ingat bagaimana korban merasa bahwa langit seperti runtuh dan menimpa dirinya saat itu. Setiap bercerita matanya berkaca-kaca, memegang kepala dan seperti memukulkan tangan ke kepalanya. Saat itu yang keluar hanya sumpah serapah dan merasa tidak ikhlas bahwa pelaku melakukan itu kepadanya. Tidak ada orang yang ingin menjadi korban kekerasan seksual, apalagi jika mengalami hal itu berulang.
Sayangnya, banyak orang yang belum mengenal korban berani berkomentar dengan mengatakan mengapa diam, tidak melawan dan sebagainya. Terkejut dan merasa dipermalukan sehingga membuat seseorang tidak siap menerima perlakuan tidak senonoh, membuat seseorang menjadi tidak mampu berpikir apapun. Terlebih jika itu dilakukan dengan paksaan dan adanya kekuatan fisik yang dilakukan pelaku. Jadi jangan tanyakan kenapa, karena kalau korban bisa bertanya pada dirinya sendiri ataupun sesuatu yang bisa menjawab, korban pasti akan menanyakan kenapa itu terjadi pada dirinya.
Kekerasan seksual tidak terjadi hanya coitus (masuknya penis ke dalam vagina) saja. Tetapi banyak orang yang tidak sadar bahwa pemaksaan terhadap hal-hal ke ranah seksual, dan bentuk-bentuk mengobyektifikasi ketubuhan seseorang baik secara fisik, verbal dan virtual merupakan kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual juga sering kali memakai tipu daya seperti rayuan-rayuan yang mengarah pada perlakuan seksual tanpa persetujuan, dibarengi dengan sedikit paksaan yang diperhalus seperti meminta pap (post a picture) bagian tubuh tertentu, jika tidak dilakukan pelaku akan marah atau ngambek. Pada kasus lain kekerasan seksual terjadi karena relasi kuasa, seperti senior terhadap junior; guru terhadap murid; dosen terhadap mahasiswa dan lainnya. Beragamnya kasus kekerasan seksual harusnya membuat banyak orang atau institusi sadar, bahwa jangan memberi ruang terhadap pelaku adalah tindakan untuk mencegah kasus kekerasan seksual terjadi kembali.
Tidak memberikan ruang terhadap pelaku tidak semudah meminggirkan pelaku dalam ruang lingkupnya saja. Lebih dari itu, tidak memberi ruang sama artinya memberi label terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap apapun yang diikuti korban. Seperti kampus melakukan drop out terhadap pelaku kekerasan seksual. Hal itu tidaklah cukup, melakukan drop out pada pelaku sama dengan melakukan cuci tangan begitu saja. Pelaku harus diberi label agar institusi pendidikan lain yang menerimanya waspada dan dapat mengawasi gerak gerik pelaku. Dalam gerakan sosial (organisasi), pelaku kekerasan seksual tidak lagi berguna dalam gerakan. Meskipun pikiran dan sumbangsih terhadap gerakan besar, pelaku kekerasan seksual tidak boleh diberi ruang sebelum kejadian kekerasan seksual yang dilakukan berulang.
Tindakan itu tidaklah berlebihan, mengingat kekerasan seksual bisa terjadi dalam banyak bentuk dan sangat sulit dideteksi tanpa adanya pengakuan dari korban. Kekerasan seksual juga merupakan sebuah tindak kekerasan yang terjadi karena adanya rencana dan kesengajaan. Sehingga jika pelecehan seksual (masuk kategori kekerasan seksual) dianggap ketidaksengajaan, itu adalah bentuk reviktimisasi.
Individu atau sebuah institusi sadar, bahwa kekerasan seksual mudah dilakukan tapi sulit untuk diselesaikan. Oleh sebab itu, membungkam para korban yang bersuara agar naiknya sebuah kabar tentang kekerasan seksual sama dengan mendukung pelaku kekerasan seksual. Pada ranah pendidikan hal ini sering terjadi, ketika kekerasan seksual terjadi jalur mediasi selalu ditempuh, dengan alasan agar tidak mencemari nama baik kampus. Padahal kebalikannya, nama baik kampus menjadi lebih baik lagi ketika ikut mendukung korban dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksualnya, dan bersikap kooperatif.
Setiap institusi harus bertanggung jawab pada anggotanya yaitu dengan mendukung korban dan tidak menjadikannya korban kembali, serta tidak memberi ruang kepada pelaku. Jika ada yang berkata bahwa bagaimana seseorang tahu jika itu benar-benar kekerasan seksual atau hanya pura-pura? tidak ada korban yang ingin bersuara, karena menimbulkan stigma. Ketika korban bersuara dengan lantang lalu diragukan dan diabaikan, maka tidak heran jika kasus kekerasan seksual tidak pernah mampu diselesaikan. Sebab ada saja orang yang meragukan pengalaman ketubuhan korban yang secara tidak langsung orang itu sedang melakukan reviktimisasi.
Penulis : Yazid Fahmi
Editor : Winda