Modus Kating Cabul, Mahasiswi Baru Unindra Alami Kekerasan Seksual
Tulisan ini telah mengalami penyuntingan pada tanggal 09 Desember 2024, pukul 12.30 WIB. Tulisan ini disunting dikarenakan adanya penambahan didalam tulisan
Sumber gambar: Freepik.com
LPM Progress - Kasus kekerasan seksual melibatkan Mahasiswa Baru Program Studi Bimbingan dan Konseling di Universitas Indraprasta PGRI (Unindra). Melalui Penerimaan Mahasiswa Baru (PMB) yang dibuka sejak bulan April hingga September 2024, relasi kuasa sebagai kakak tingkat (kating) mengakibatkan kekerasan seksual yang dialami mahasiswa, baru terjadi.
Berawal pada satu grup yang sama di Telegram, Risa (nama samaran) bertemu dengan Alif Adrian Syach yang mana mereka berada di Program Studi yang sama, yaitu Bimbingan dan Konseling (BK). Alif yang saat itu sudah menduduki semester 5 berada di dalam grup yang seharusnya hanya diisi oleh mahasiswa baru BK tahun 2024.
Risa menjelaskan bahwasanya ia memanfaatkan grup tersebut untuk wadah mencari informasi teman baru satu angkatan program studi yang sama. Sehingga, ketika gelembung pesan dari grup menanyakan apakah ada mahasiswa baru Bimbingan dan Konseling di sana atau tidak, korban pun membalas pesan itu tanpa mengetahui yang mengirim pesan bukanlah teman sesama angkatannya, tetapi tak lain kakak tingkat yang sedang menjalankan modusnya.
Pesan pribadi muncul dalam notifikasi ponsel korban yang memastikan bahwa korban merupakan mahasiswa baru dan menawarkan bantuan jika korban membutuhkan sesuatu. Mengetahui bahwasanya orang yang menghubunginya adalah Alif Adrian Syach, korban tidak menggubrisnya lantaran yang ia inginkan hanya mendapatkan kenalan teman seangkatannya saja.
"Oh kating, yaudah aku juga males kan kayak orang aku nyarinya maba biar punya temen bukan kating," ujar Risa ketika diwawancarai (11/10/24).
Sejak awal, korban memang sudah tidak nyaman dengan keberadaan pelaku. Alif meminta korban untuk saling mengikuti di Instagram lalu, menghubungi melalui Direct Message (DM) untuk menanyakan siapa Dosen Penasehat Akademik (DPA) korban dan meminta korban untuk menangkap layar Kartu Rencana Studi (KRS) agar pelaku mengetahui dosen pengampu dan bisa membantu memberi tahu bagaimana karakter dari dosen-dosen tersebut, serta memaksa korban untuk memberikan nomor WhatsApp.
Sewaktu ketika, korban pernah meminta saran kepada Alif, bagaimana cara bertanya kepada dosen yang tidak kunjung memberikan jawaban kepada mahasiswanya karena korban merasa saat itu Alif adalah kating yang memiliki pengalaman yang serupa seperti yang dialaminya. Sehingga, Alif memberikan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh korban agar dosen tersebut menjawab pesannya tapi sejak saat itu Alif menyalah artikan maksud dari korban. Alif merasa dekat dengan korban dan semakin sering memberikan pesan kepada korban.
"Beberapa kali kayaknya dua kali atau tiga kali gitu kan. Nah, mungkin dia ngerasa udah kayak (deket) padahal akunya nanya-nanya doang gitu. Terus ya udah, lama chatan dia ngechat, ngechatnya tapi selalu kayak orang posesif gitu," ujar Risa.
Sikap posesif yang dilakukan oleh Alif berupa pembatasan interaksi dengan teman laki-laki korban lainnya itu selalu muncul sampai korban merasa tidak nyaman dan terus menolak. Alif pun sering kali menanyakan korban sedang dimana, meminta korban untuk mengirimkan foto, dan memberikan responnya melalui jawaban "seksi" meskipun korban mengenakan pakaian yang tertutup.
Pada bulan September Tahun 2024 tepatnya ketika hari kedua korban masuk kuliah. Siang itu saat sedang turunnya hujan, Alif bertanya lewat pesan WhatsApp apakah korban sudah pulang sambil menyinggung soal kondisi cuaca saat itu, pesan yang diberikan Alif kepada korban mulai mengarah ke arah seksualitas saat korban menjawab dirinya kebasahan akibat terkena hujan. Saat itu, Alif menelepon korban dan melayangkan pertanyaan kenapa korban tidak langsung memberitahu kalau ia sudah sampai rumah. Alif juga meminta korban untuk menemaninya meskipun korban sudah menolak dan menjawab ingin istirahat.
Panggilan beralih menjadi video call. Posisi saat itu masih hujan sehingga Alif menyinggung hal-hal yang membuat korban semakin tidak nyaman. Puncaknya ketika pelaku menunjukkan tubuh bagian perutnya dan marah kepada korban karena korban tidak mau melihatnya. Sehingga kejadian berikutnya Alif menunjukkan kemaluannya di depan korban dan meminta korban untuk tidak perlu melakukan apapun, tetapi cukup menurunkan kamera agar seluruh tubuh korban bisa terlihat.
Korban menolak melakukan tindakan yang diperintahkan pelaku, sehingga pelaku menyalahkan korban dan mengungkit kedekatannya, seperti: memberi saran akademik, memberi balasan cepat via chat dan mempertanyakan timbal balik korban kepada pelaku. Dari sini panggilan video korban dengan pelaku terputus. Alif, pelaku yang melakukan tindak asusila itu kembali menghubungi korban dan memintanya mengangkat panggilannya itu.
Pada kesekian kalinya, korban menolak! Penolakan yang dilakukan korban, membuat pelaku menginginkan kerahasiaan yang sudah terjadi ini cukup diketahui oleh Alif dan korban saja.
Risa memilih diam atas kejadian yang sudah menimpanya, Risa takut justru menimbulkan reaksi negatif dari orang lain yang berimbas pada dirinya sendiri jika ia bercerita karena pernah mengalami pelecehan seksual. "Jadi aku, kalo misalkan mau ngomong ke orang yah pasti gitu juga (respon orang lain). Malah jadinya orang-orang taunya ih dulunya kan pernah diginiin sama dia," kata Risa.
Modus Kating cabul dengan memperlihatkan alat kelamin kepada orang lain tanpa persetujuan merupakan tindak kekerasan seksual, dan terjadi pada lingkup perguruan tinggi.
Sebagaimana dengan pemberian sanksi kepada pelaku, hal tersebut sudah tercantum pada Undang-undang (UU) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Pencegahan Penangan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Adapun UU lain yang bisa digunakan seperti, UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan UU tentang Pornografi Pasal 8, Pasal 9, Pasal 34, dan Pasal 35 yang berisikan perlindungan terhadap pelecehan seksual verbal.
Pencegahan atas tindakan kekerasan seksual pada lingkungan kampus bukanlah tugas perorangan, melainkan kewajiban bersama semua elemen masyarakat kampus yang ada.
Penulis: Redaksi LPM Progress