Perempuan Kretek dan Stigma yang Melekat di Dalamnya
Ilustrasi : Sketsa Wajah Nenek Perokok Klobot Karya Hareanto
“Kamu itu cewek, gak boleh ngerokok ”
“Perempuan kok ngerokok?”
Kalimat di atas adalah contoh kecil tentang pelarangan dan bentuk diskriminasi yang sudah menjadi makanan sehari-hari bagi para perempuan kretek.
Mereka yang berperan sebagai perokok aktif sering kali mendapat stigma yang negatif di masyarakat. Perempuan yang secara terang-terangan melakukan aktivitas ‘ngudud’ ini dicap sebagai ‘cewek nakal’. Hal ini serupa dengan tanggapan gadis yang sering saya temui di salah satu warung kopi dekat kampus. Gadis berjilbab yang selalu disandingkan dengan nama salah satu produk rokok tanpa filter ini sudah kenyang dengan kata-kata “kerudungan kok ngerokok”. Baginya kalimat semacam itu sudah lagi tak membuatnya risih atau sakit hati, “gue lebih sakit kalau mereka cuma mandang sinis ke gue, karena gue gak tau apa yang sedang mereka pikirkan tentang gue,” katanya.
Perkenalannya dengan rokok berawal dari iseng dan coba-coba agar terlihat keren. Namun, semakin seringnya ia mendapat perlakuan diskriminatif tentang aktivitas merokoknya ini, semakin ia sadar bahwa sebenarnya bukan cara merokoknya yang salah, tetapi sinisme dan tidak tolerannya kebanyakan orang yang menjadikan stigma masyarakat semakin kuat.
Nyatanya menjadi perempuan kretek bukanlah hal yang mudah. Di masyarakat Indonesia sendiri, rokok terkesan hanya pantas dikonsumsi oleh para laki-laki, sehingga kebiasaan merokok untuk perempuan dianggap masalah yang luar biasa. Orang tua akan lebih kelimpungan ketika mengetahui anak perempuannya menjadi perokok aktif, berbeda jika hal itu dialami oleh anak laki-lakinya.
Lalu sebenarnya, apa yang salah dari perempuan kretek?
Padahal pada kemasan rokok dan berbagai bentuk iklannya hanya tertera larangan untuk menjual atau memberikan pada anak usia dibawah 18 tahun dan perempuan hamil. Maka jelas bahwa perempuan di atas 18 tahun dan tidak sedang hamil sah-sah saja untuk membeli dan mengonsumsinya, bukan? Tentunya dengan tidak melanggar regulasi tentang area yang halal untuk aktivitas tersebut.
Tentu masih hangat dibenak dengan nama Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan pada periode pertama kepemimpinan Joko Widodo. Menteri yang selalu tampil nyentrik ini juga termasuk golongan perempuan kretek. Dedikasi dan prestasi akan kinerjanya tak dapat dipandang sebelah mata. Yang perlu digarisbawahi adalah merokok bukan halangan bagi perempuan untuk tetap berbuat baik dan tidak melupakan prestasi, serta produktivitasnya dalam hidup.
Masalahnya kita masih terkungkung dalam budaya patriarki. Sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki mendominasi dan sebagai pemegang kekuasaan utama. Secara awam, dapat dilihat betapa laki-laki memiliki peran yang amat besar dalam setiap pengambilan keputusan, termasuk mengeklaim bahwa perempuan kretek masuk ke dalam kategori perempuan berperilaku buruk. Selain klaim dari para laki-laki, perempuan anti rokok, mantan perokok yang kini melawan rokok, dan perempuan yang membentuk dirinya agar tetap terlihat ‘baik-baik’ dalam pandangan masyarakat pun menjadi pendorong stigma ‘buruk’ perempuan kretek belum juga memudar hingga kini.
Penulis : Dhania
Editor : Eriva