Penyalin Cahaya (Photocopier): Seni Memperjuangkan Harga Diri
Penyalin Cahaya (Photocopier): Seni Memperjuangkan Harga Diri

Penyalin Cahaya (Photocopier): Seni Memperjuangkan Harga Diri

Sumber gambar: Netflix.com

 

Pernahkah kalian memperjuangkan harga diri, hak, dan sesuatu yang kalian anggap benar namun, tidak mendapat dukungan dari orang terdekat sekalipun?

Itulah hal yang dirasakan Suryani dalam film Penyalin Cahaya (Photocopier). Film garapan Wregas Bhanuteja ini memulai tayangan perdananya di Indonesia pada 13 Januari 2022 melalui platform Netflix. Dalam film dengan durasi 2 jam 10 menit ini mengisahkan Suryani (Shenina Cinnamon) sebagai korban kejahatan seksual yang berusaha memperjuangkan keadilan untuk dirinya. Perjuangannya untuk mencari bukti dan pengakuan dikemas dalam alur yang cukup sederhana dan dapat dimengerti khalayak umum. Namun, untuk mengerti pesan yang disampaikan dalam setiap adegan, sutradara tidak menggambarkan pesan tersebut secara gamblang. Ia seakan membiarkan penonton menerka-nerka maksud dari setiap adegan yang dimainkan. Film bergenre drama misteri dengan latar belakang anak kuliahan ini juga sedikit menyinggung masalah-masalah yang kerap kali terjadi dalam dunia perkuliahan, seperti peloncoan dan jual beli skripsi.

Film ini berhasil memenangkan 12 piala citra dari 17 nominasi. Selain itu, film ini berhasil mengharumkan nama perfilman Indonesia dengan meraih penghargaan dalam Busan International Film Festival 2021. Dilansir dari IMDb, film ini mendapatkan rating 6.9/10. Setiap adegan yang ditampilkan berhasil mempermainkan emosi para penikmatnya, tak heran bila film ini mendapatkan respon positif dari masyarakat. Namun, di tengah prestasinya yang menjulang, film ini justru diterpa kabar kurang baik, di mana diberitakan salah satu kru film menjadi pelaku dari kejahatan seksual.

Film yang mengangkat isu kejahatan seksual ini seakan menggambarkan potret yang kerap terjadi di masyarakat. Di mana korban kejahatan seksual justru dibungkam, dilemahkan, hingga tidak mendapatkan dukungan dan perlindungan. Bahkan dalam beberapa kasus justru berujung permintaan maaf kepada pelaku. Kebenaran yang seharusnya menjadi hak korban, malah menjadi hal remeh bagi pelaku dan pihak-pihak lain yang justru terkesan menyokong pelaku. Seolah semuanya dapat diselesaikan dengan jalur kekeluargaan, yang mana tidak menguntungkan korban sama sekali.

Film ini mengisyaratkan bahwa kejahatan seksual dapat terjadi pada siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. Selain itu, digambarkan dalam salah satu adegan ikonis, ketika Suryani ingin pergi ke pesta untuk merayakan kemenangannya dengan mengenakan kebaya yang cukup menerawang, ayah Suryani (yang diperankan oleh Lukman Sardi) meminta Suryani untuk menggunakan baju panjang sebagai dalaman kebaya. Namun pada akhirnya, ia tetap menjadi korban kejahatan seksual. Hal ini seperti merepresentasikan stigma yang berada di masyarakat bahwa kejahatan seksual terjadi karena ulah korban yang tidak menjaga caranya berpakaian. Padahal, dilansir dari detik.com, berdasarkan keterangan dari Rika Rosvianti, pendiri kelompok perEMPUan, 3 urutan pertama dalam survei tentang pakaian yang digunakan perempuan saat terkena pelecehan seksual adalah rok atau celana panjang 17,47%, baju lengan panjang 15,82%, dan baju seragam sekolah 14,23%. 

Melalui film penyalin cahaya, mata penonton seakan dibuka. Sebab film ini menggambarkan bahwa kasus kejahatan seksual di Indonesia masih perlu mendapatkan keadilan. Melalui alur yang sederhana, sutradara berusaha untuk memastikan setiap detail adegan memiliki makna tersendiri, seperti pepatah "sedikit tapi bermakna". Namun di balik itu, sutradara tetap berusaha menambahkan kesan segar dan unsur komedi dalam drama sarat akan makna ini, dengan menampilkan aksi pintar namun jenaka oleh Suryani dan Amin (teman Suryani) khas anak kuliahan.

Sayangnya, seperti yang telah disebutkan di awal, pesan dalam film ini tidak disampaikan secara gamblang. Melainkan dikemas dalam metafora-metafora, yang memerlukan pendekatan mendalam untuk dapat mengerti maknanya. Tidak menutup kemungkinan bahwa akan terjadi kesalahpahaman antara pesan yang hendak disampaikan dan pesan yang diterima oleh masyarakat nantinya. Untuk itu, sebagai penonton alangkah baiknya lebih teliti dalam memahami makna dalam setiap adegan. Selain itu, akhir yang ditampilkan juga dinilai kurang memenuhi ekspektasi penonton. Namun, di luar dari kelebihan dan kekurangannya, film ini patut mendapatkan apresiasi karena prestasi maupun film itu sendiri.

 

Penulis : Amelda Kaspiyanti

Editor   : Dwi Kangjeng