Runtuhkan Tembok Impunitas dalam Aksi Kamisan ke-750
Sumber gambar: Dok/LPM Progress/Yaqut Nur
LPM Progress – Kamis (27/10), telah dilaksanakan aksi kamisan yang ke-750 di depan Istana presiden. Dalam aksi yang bertemakan "Runtuhkan Tembok Impunitas!” ini, para pegiat Hak Asasi Manusia (HAM), keluarga korban, dan warga sipil ikut tergabung di dalamnya untuk berjuang menuntut keadilan dan akuntabilitas untuk perkara pelanggaran HAM berat.
Dalam aksi kamisan hari ini diwarnai dengan berbagai refleksi dari sejumlah aktivis seperti, Alghiffari Aqsa, Ghina Raihanah, Usman Hamid dan Putri Kanesia. Juga, terdapat aksi dari teatrikal Kalabahu 43 dan Musik yang dinyanyikan oleh Topan Tornado dan The Brandals.
Aksi ini membawa tuntutan yang pertama, yakni mewujudkan janji penghapusan segala bentuk impunitas, termasuk dengan menuntaskan secara hukum kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Kedua, memerintahkan kepada Jaksa Agung membentuk tim penyidik Ad Hoc untuk menindaklanjuti berkas penyidikan perkara pelanggaran HAM berat yang telah diselidiki oleh Komnas HAM, sesuai amanat Pasal 21 ayat (3) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Ketiga, mencabut Keppres No. 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Keempat, menghentikan segala upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat secara non-yudisial, karena akan melanggengkan impunitas.
"Bukan hanya kompensasi, proses hukum, dan jaminan tidak berulang. Kalau tidak ada jaminan berhalangan maka pelanggaran HAM-nya akan terus terjadi," kata Alghiffari Aqsa, salah satu aktivis dari Law Firm and Public Interest Law Office (AMAR) dalam refleksi yang dibacakan (27/10).
Putri Kanesia, salah satu aktivis dari Asia Justice and Rights (AJAR), juga mengajak kawan kawan yang tergabung dalam aksi kamisan ke-750 untuk melindungi dan memperjuangkan HAM bersama keluarga korban.
"Mustahil kita bicara soal perlindungan HAM ketika negara menjadi pelindung bagi pelaku pelanggaran HAM berat," ujar Putri Kanesia dalam refleksi yang disampaikan (27/10).
Dengan ini keluarga korban menggantung nasib dan tanpa adanya kepastian hukum serta keadilan kepada Negara. Berdasarkan pers rilis yang dikeluarkan oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), tertulis bahwa komitmen Presiden untuk menghentikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat hanyalah retorika belaka, jika tidak diikuti dengan langkah-langkah konkret untuk menangani pelanggaran berat HAM sesuai mekanisme yang tertuang dalam UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM.
Reporter: Putri Yuki
Penulis: Yaqut Nur
Editor: Shalsa Bila Inez Putri