Diklatsar Mapala, Haruskah "Dibumbui" Kekerasan?
Ilustrasi oleh Tim Konten Kreatif LPM Progress
LPM Progress — Dalam penerimaan anggota baru, mapala (mahasiswa pencinta alam) selalu mengadakan kegiatan pendidikan dan pelatihan dasar (diklatsar) yang tujuannya untuk meregenerasi anggota yang siap memimpin organisasi serta menguasai skill dalam bidang pecinta alam. Namun, kegiatan diklatsar ini sering disalah gunakan oleh para senior sebagai ajang perploncoan calon anggota baru hingga di antaranya berujung pada kematian.
Melansir dari infografis tirto.id, kasus kematian mahasiswa saat mengikuti kegiatan diklatsar pernah terjadi beberapa kali, salah satunya diklatsar Mapala UII (Universitas Islam Indonesia) pada 21 Januari 2017, yang memakan korban terbanyak dengan rincian korban meninggal mencapai 3 orang dan 5 luka-luka. Penyebabnya adalah adanya kekerasan oleh senior.
Menurut Hafidz, anggota Wanadri, organisasi penempuh rimba dan pendaki gunung yang ada di Bandung, ia mengatakan tujuan dari plonco itu sebenarnya untuk mendidik, walaupun secara makna kata mengandung konotasi yang negatif, tetapi tidak semua yang diplonco itu merasa disakiti. Masalah positif atau negatif itu tergantung pada cara pandang seseorang.
"Orang yang ditampar bisa jadi ngerasa diplonco, tapi tidak semua orang yang ditampar ngerasa gitu. Orang yang nampar bisa jadi niatnya tulus untuk mendidik," ujarnya (04/04/2021).
Hafidz juga menambahkan, para pendidik (panitia) seharusnya mempunyai SOP (Standar Operasional Prosedur) dalam setiap rangkaian kegiatan pendidikannya. SOP dibuat agar kegiatan berjalan lancar dan meminimalisir kemungkinan terburuk yang terjadi, salah satunya berujung pada kematian peserta.
Beberapa waktu lalu, Senin (01/03/2021), kegiatan diklatsar mapala kembali memakan korban yaitu mahasiswa Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), yang salah satunya meninggal dunia setelah mengikuti kegiatan diklatsar selama 10 hari.
Mengutip dari akun Instagram Oki Pamunqas sekaligus teman satu kostan korban meninggal, menjelaskan bahwa setelah mengikuti kegiatan diklatsar, korban meninggal memiliki bekas luka yang tidak biasa di bagian dada dan beberapa rekan korban sampai mengalami muntah kuning.
Menanggapi kejadian tersebut, Rozi Brilian selaku peneliti dari KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan), menentang ketika kegiatan diklatsar masih menggunakan kekerasan. Karena seharusnya kampus menjadi tempat yang aman bagi mahasiswa untuk berkegiatan. Pihak kampus juga harus memberi sanksi yang tegas kepada para pelaku.
"Sudah tidak relevan lagi ketika diklatsar masih menggunakan kekerasan, sekarang seharusnya lebih humanis dan tidak ada lagi kekerasan antara senior ke junior," ujarnya saat diwawancarai via WhatsApp (15/04).
Reporter: Wahid Abid & Yulia Ningsih
Penulis: Wahid Abid
Editor: Isnawati