“Di Sinilah Aku akan Hidup dengan Dongeng Bapakku,” The Mirror Never Lies (2011)
Sumber gambar: Dok/LPM Progress/Larashati Crita Annisa Siswoyo
“Setiap kali bapak pergi, aku akan menunggu kabar angin tepat di mana ia berhembus. Tapi kini angin berputar tidak menentu. Ia berpindah mencari dunia. Ke mana angin-angin itu membawa kabar bapak? Aku tidak mengerti.”
Pakis, gadis malang yang terus menunggu kabar bapaknya pulang dari melaut yang diceritakan dalam kisah “The Mirror Never Lies” dengan nama lain Laut Bercermin. Film yang disajikan oleh Kamila Andini sebagai sutradara ini, sukses menyajikan indahnya pemandangan sekaligus tradisi masyarakat lokal Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Laut Bercermin, agaknya kurang banyak diketahui untuk zaman sekarang, karena film ini dirilis tahun 2011 dan saya pun perlu menonton ulang untuk melengkapi scene yang terpotong dalam ingatan saya. Tetapi tetap film ini berhasil menghibur mata, tak terkecuali saya, sebab banyak ditampilkan keindahan laut Wakatobi nan asri di tengah hiruk pikuknya dunia saat ini.
Dikisahkan dalam film tersebut bahwa Pakis (diperankan oleh Gita Novalista) adalah seorang gadis usia sekolah dasar yang sedang menunggu kembali bapaknya dari melaut. Ibunya Tayung (diperankan oleh Atiqah Hasiholan) yang sudah lebih dulu pasrah tentang kabar suaminya kan kembali, memilih menyerah dan menganggap suaminya telah meninggal. Ada sebuah konflik batin yang penonton rasakan, beberapa kali ibu dan anak itu terus bersinggungan tanpa perlu dialog terus menerus, tetapi tetap menggambarkan sebuah perang dingin di antara keduanya.
Kekesalan Pakis bertambah ketika ibunya menyewakan tempat tinggal suaminya pada seorang tamu desa yang berprofesi sebagai peneliti lumba-lumba. Ibunya pun tak bisa menolak karena hal tersebut merupakan keputusan kepala desa dan keadaan ekonomi yang mengharuskan ia berjuang sendiri membesarkan Pakis maupun memenuhi kebutuhan rumah tangga lainnya. Peneliti lumba-lumba itu bernama Tudo (diperankan oleh Reza Rahadian) yang kesehariannya bekerja dengan alat-alat yang menarik perhatian anak-anak di desa. Tudo yang juga diperlihatkan mengajar di sekolah Pakis dan Lumo (teman dekatnya Pakis), Tudo menekankan pada pengajaran-pengajaran pelestarian lingkungan di bawah laut.
Saya menyadari kehadiran Tudo di dalam film ini sebenarnya terlihat seperti sebuah pemanis belaka, tetapi memang memenuhi fungsi figur laki-laki yang hilang dalam sisi Tayung dan Pakis. Ia juga memiliki kepribadian yang baik dalam membaur sehingga tak jarang anak-anak menyukai berada di sekitarnya, bahkan Pakis pun berharap ia bisa menjadi pasangan dari Pak Tudo ini. Saya menyukai karakter Tudo yang digambarkan bisa menyadari rasa kehilangan Pakis.
Di dalam film digambarkan Tudo yang berbicara kepada Tayung tentang hal-hal yang Pakis lakukan, seperti menunggu bapaknya hingga larut malam ataupun membicarakan wejangan bapaknya setiap saat. Bahkan, kesetiaan Pakis menunggu bapaknya diperlihatkan sangat jelas dengan ia membawa ke mana pun cermin peninggalan bapaknya itu. Sementara sebagai seorang ibu, Tayung terlalu fokus pada realita hingga melupakan rasa kehilangan yang tak hanya dialaminya sendiri.
Banyak percakapan antara Pakis dan sahabatnya Lumo yang menggambarkan realita saat ini. Salah satu percakapan mereka yang saya ingat adalah jawaban Pakis atas pertanyaan Lumo, “Pakis, kenapakah kita tidak tinggal di daratan saja?” Pakis menjawab, “Bodoh kau Lumo, dari zaman nenek moyang kita pun begitu. Kata bapak, lebih baik tinggal rumah di atas laut. Biar bergoyang tapi hidup. Untuk apa membangun gedung-gedung besar tapi semua mati. Sungai, laut, binatang-binatang akan marah karena tidak ada tempat untuk mereka.”
Menohok bukan? Sebagai orang yang tinggal di daratan, saya pun ikut tersindir sebenarnya. Sindiran-sindiran kecil tentang pelestarian alam muncul dalam beberapa wejangan bapak Pakis yang diucapkan kembali oleh Pakis dengan logat khas Bajo. Saya juga turut senang keterlibatan World Wildlife Foundation (WWF) dan Pemerintah Kabupaten Wakatobi dalam konteks produksi film tersebut, yang mana jelas memang akan ke arah mana film ini disuguhkan. Film ini berhasil secara alami menggambarkan keadaan lingkungan maupun kehidupan masyarakat lokal sana, para pemain yang amat cakap bermain peran seperti Atiqah Hasiholan yang apik menggunakan logat khas Bajo yang cukup membuat saya kagum juga.
“Lautan adalah rumah bapakku, semua tentangnya adalah masa depanku. Maka di sinilah aku akan hidup, dengan dongeng bapakku. Biru, luas, hidup laut... Cermin besarku,”
Melihat peran yang begitu apik dari Atiqah Hasiholan dan Gita Novalista dengan logat bajo mereka, kita kembali pada kesan saya terhadap peran Reza Rahadian yang terlihat seperti pemanis saja. Meski ikut terlibat dalam konflik batin Pakis, peran Tudo ini tidak dilibatkan secara penuh dalam konflik Tayung dan Pakis, sehingga mendapat kesan kurang maksimalnya peran Tudo tersebut.
Penulis: Larashati Crita Annisa Siswoyo
Editor: Mei Setyaningrum