Diskusi Tematik : UU P-KDRT Masih Jalan di Tempat

Diskusi Tematik : UU P-KDRT Masih Jalan di Tempat

LPM Progress - Pemerintah Indonesia telah mengesahkan UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (P-KDRT), sebagai salah satu pencapaian dari aksi perempuan pada September 2004 lalu.

Catatan Komnas Perempuan pada Maret 2019 mengenai angka kekerasan dalam rumah tangga atau dalam relasi personal tangga menempati angka paling tinggi yaitu sebanyak 71% atau 9.637 kasus. Begitu pula menurut catatan LBH APIK pada Desember 2019 yang menyatakan bahwa pengaduan kasus terbanyak adalah KDRT yaitu terdapat 249 kasus dari total 794 pengaduan. Hal ini menyita perhatian untuk dibahas, bahwa sudah 15 tahun UU P-KDRT ini disahkan tetapi keadaan yang terjadi tetap sama meskipun pada zaman yang berbeda. Hal ini yang akan dibahas dalam agenda diskusi tematik mengenai refleksi 15 tahun UU P-KDRT yang dilaksanakan pada Kamis (13/2) di Gedung LBH Menteng, Jakarta Pusat pada pukul 13.30 WIB.

Menurut Ali Khasan selaku Asisten Deputi Bid. Perlindungan Hak Perempuan, UU P-KDRT dibuat untuk merubah pandangan masyarakat dengan menjadikan kasus ini bukan lagi hanya dalam ranah pribadi tetapi menjadi ranah publik, tanggung jawab masyarakat pun sangat penting dalam hal ini. Menurutnya kasus kekerasan seperti ini bersifat cross cutting issues, sehingga tidak hanya dapat dilakukan oleh satu kementerian saja. Maka dari itu, dibentuklah Gerakan Stop KDRT dan diharapkan terwujudnya daerah bebas KDRT. 

Dalam sesi ini, Ratna Batara Munti dari Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan mengungkapkan UU P-KDRT menjadi refleksi bahwa 15 tahun P-KDRT masih banyak yang tidak berjalan. Ratna juga menjelaskan bahwa penyintas belum mengetahui ranah pelaporan kasusnya, sehingga UU P-KDRT ini jauh dari yang diharapkan dan perlu diperbaiki. Terlebih tidak ditemukannya sosialisasi dan tindak lanjut terhadap kasus yang terjadi.

Andy Yentriyani selaku Komisioner Komnas Perempuan menanggapi bahwa sulitnya implementasi terhadap kekerasan perempuan disebabkan karena belum adanya perubahan pada pengajuan yang diperoleh selama 20 tahun ini, sehingga mudah mundur. Beliau menjelaskan bahwa sosialisasi tersebut telah dilakukan, seperti; kampanye, seminar, dan dialog publik hanya saja masih kurang efektif dalam pelaksanaannya. Pengkajian ulang kebijakan perlu dilakukan dan butuh dukungan bersama.

Telah banyak aksi yang dilakukan, seperti dalam pemaparan Andy, "Sebuah aksi bukanlah sebuah agenda belaka melainkan untuk mengukur bahwa aksi kita adalah aksi yang bermakna. Banyak aksi yang dilakukan seperti halnya menebar bibit tetapi tidak diolah lahannya sehingga dapat tumbuh menjadi pohon yang lebih besar dan berjejak," Ujar Andy.

Karolina L. Dalimunthe dalam penelitiannya kerap kali mendengar cerita mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan baik di tempat kerja maupun di dalam posisinya sebagai ibu rumah tangga. Menurutnya, dengan output yang seperti ini menunjukkan ada 'sesuatu' dengan prosesnya sehingga perlu dievaluasi kembali.

Karolina menjelaskan bagaimana cara untuk menyadarkan penyintas, salah satunya dengan melakukan refleksi setiap hari dengan menyediakan ruang terbuka untuk berdialog. Serta menyadarkan hak istimewa yang  diterima para pelaku kekerasan.

"Fokus isu pada KDRT sebetulnya berawal dari seorang buruh perempuan yang kerap kali mengalami KDRT," Jelas Vivi Widyawati selaku Koordinator Program Penelitian Perempuan Mahardhika. Ia pun menambahkan bahwa semangat penelitian menjadi pilar perjuangan serikat buruh perempuan dan pentingnya memahami relasi perkawinan.

"Seorang narasumber telah menikah selama 15 tahun mengatakan mengalami KDRT dari suaminya. Satu hal yang membuat dirinya bertahan katanya 'menghormati suami saya', ini menunjukkan bahwa kuatnya nilai-nilai menghargai suami menjadi sebuah konsekuensi yang dihayati ketika masuk dalam kehidupan rumah tangga," ujar Vivi.

Jelas bahwa sosialisasi tanpa pemberdayaan adalah kemustahilan. 

Hadirnya Perempuan Mahardhika menjadi suatu usaha. Ketika perempuan bekerja, rantai tidak putus bahkan situasi tempat kerja rentan terhadap kekerasan dan diskriminasi. Hal ini berkaitan langsung dengan kemampuan perempuan untuk lepas dari belenggu kekerasan di dalam rumah tangga. 

Ali Khasan menanggapi langsung bahwa penelitian yang dilakukan ini baik dalam rangka melihat kembali terkait dengan data riil yang ada di masyarakat, sedangkan untuk penyempurnaan hasil diserahkan kembali kepada pihak terkait. Paling tidak hal ini memberikan gambaran keadaan di lapangan seperti itu dan perlu ditindaklanjuti dalam sektor buruh dalam melakukan pengayoman.

Beragam kasus kekerasan terhadap perempuan kerap kali terjadi, ironisnya perempuan terkadang bungkam tanpa mau bersuara.

"Banyak penyintas memahami jalan satu-satunya untuk menyelesaikan kasus KDRT adalah dengan bercerai, tanpa adanya rehabilitasi dalam penanganannya sehingga meminimalisir terjadinya hal yang serupa ketika seorang suami akan menikah lagi," ungkap Ratna Batara Munti.

Dalam diskusi ini menunjukkan bahwa tidak adanya informasi sarana pengaduan yang tepat untuk membimbing pelaku maupun penyintas dalam pemulihan mental, tidak tersedianya dialog terbuka untuk membuat penyintas ikut bersuara, serta kurangnya tindak lanjut. Agenda UU P-KDRT ini perlu dikaji ulang, sehingga bukan hanya menjadi sebuah dokumen berdebu yang keberadaannya tidak menuai hasil. Namun, menjadi dukungan bagi perempuan yang mengalaminya.

 

 

 

Penulis : Syntha Dolok Saribu

Editor : Nira Yuliana