Harus Ada Laporan Resmi, Satgas PPKS Meminta Perempuan Tidak Berpakaian Minim agar Tidak Dilecehkan

Harus Ada Laporan Resmi, Satgas PPKS Meminta Perempuan Tidak Berpakaian Minim agar Tidak Dilecehkan

Sumber gambar: Detik.com

 

LPM Progress - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim mewajibkan seluruh perguruan tinggi membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Hal itu sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Permendikburistek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS. Di dalam Permendikburistek tersebut juga mengatur Standar Operasional Prosedur (SOP) Satgas PPKS. 

Pada tanggal 21 Maret mahasiswa Unindra dihebohkan dengan adanya unggahan Twitter yang mengungkapkan adanya kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus. Menanggapi hal tersebut Eny Rachmawati selaku Ketua Satgas PPKS menuturkan bahwa Satgas PPKS hanya bisa menindaklanjuti jika adanya laporan secara resmi dan tertulis, dikarenakan Satgas PPKS harus menjalankan tugas sesuai dengan prosedur dan pedoman yang merujuk pada Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021. Satgas PPKS menerima laporan secara langsung dengan cara mendatangi ruangan Satgas PPKS ataupun melalui hotline, dan pelapor wajib menyertakan identitas mereka seperti nama, program studi dan Nomor Pokok Mahasiswa (NPM).

“Meskipun beritanya sampai ke mana-mana, meskipun beritanya sampai ke presiden sekalipun kami tidak akan membuat laporan jika mereka tidak datang ke kita untuk membuat laporan,” ujarnya saat diwawancarai di ruang Satgas (01/4).

Eny meminta agar semua perempuan sadar dan tidak menggunakan pakaian minim karena dapat memicu laki-laki melakukan pelecehan. Lebih lanjut Eny menambahkan bukan hanya pakaiannya saja yang dapat memicu laki-laki melakukan pelecehan seksual, namun seksualitas dari wajah, bibir, dan juga cara bicara. Ketika perempuan menunjukkan kemanjaannya, maka laki-laki akan menilai perempuan tersebut adalah perempuan inferior.

“Perempuan yang memakai pakaian minim wajar mendapatkan pelecehan seksual. Kenapa? karena tidak patut juga memakai pakaian minim-minim di kampus,” kata Eny.

Mengutip data dari survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) mencatat korban yang terkena pelecehan seksual tidak menjadi penentu korban akan mengalami pelecehan seksual dikarenakan sebanyak 17,47% korban memakai rok panjang dan celana panjang, 15,82% memakai baju panjang, 14,23% memakai seragam sekolah, 13,80% memakai baju longgar, 13,20% berhijab pendek atau sedang, 7,72% baju berlengan pendek, 4,61% memakai pakaian kantor, 3,68% memakai hijab panjang, 3,02% memakai rok atau celana selutut. Menanggapi hal tersebut Eny menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap data survei KRPA, menurutnya data tersebut dianggap memojokan umat muslim sebab di dalam surah An-Nisa mengharuskan wanita menjaga martabat, salah satunya dengan tidak menggunakan pakaian terbuka.

“Saya tidak setuju, itu namanya mendiskreditkan orang muslim,” ujar Eny.

Zulfa selaku anggota Satgas PPKS juga berpendapat dengan memperhatikan pakaian yang digunakan adalah salah satu bentuk pencegahan terjadinya pelecehan seksual. Laki-laki yang agamis tidak akan tertarik kepada perempuan yang berpakaian tidak menutup aurat dengan benar, laki-laki yang agamis akan jauh lebih tertarik terhadap wanita yang menutup aurat dengan benar.

Eny menambahkan dengan adanya Mata Kuliah Akhlak dan Etika serta sama-sama bergerak untuk menyelenggarakan acara seminar diharapkan dapat menciptakan kesadaran mahasiswa dan generasi muda jika pelecehan seksual tidak boleh terjadi. Unindra juga akan menetapkan cara berpakaian yang sopan ketika masuk ke dalam lingkungan kampus, mahasiswa tidak diperkenankan memakai rok mini ataupun baju yang terlihat lekuk tubuh.

“Mungkin kita akan menetapkan cara berpakaian yang sopan, kalau gak salah sudah ada aturan itu di papan pengumuman di Kampus A,” ujarnya.

 

Penulis: Redaksi LPM Progress

Editor: Puput Oktavianti