Konsolidasi Pembredelan LPM Lintas, SK Rektor IAIN Ambon Dinilai Memiliki Kecacatan
Sumber gambar: Dok/LPM Progress/Tyas Putri Ramadhani
LPM Progress – PPMI (Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia) mengadakan diskusi dan konsolidasi pada hari Minggu (20/3) mengenai pembredelan yang terjadi pada LPM Lintas. Diskusi tersebut dihadiri Yolanda Agne selaku pemimpin redaksi LPM Lintas serta dihadiri oleh Dhiya Al-Uyun dosen Universitas Brawijaya selaku anggota KIKA (Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik) sebagai narasumber diskusi.
Dalam diskusi dan konsolidasi, Dhiya Al-uyun mempresentasikan identifikasi majalah hingga SK pembekuan LPM Lintas yang tidak sah secara hukum. Menurutnya, dilihat dari majalahnya sendiri tidak memiliki unsur kalimat yang tidak objektif yang bisa memancing unsur kemarahan ataupun kekerasan. “IAIN Ambon rawan pelecehan, itu sudah bahasa pers jadi sudah tidak bisa dikatakan tidak objektif dan sebagainya,” ucap Dhiya Al-Uyun.
Dhiya juga mengungkapkan bahwa narasi dalam laporan majalah LPM Lintas adalah valid, apalagi didasari riset yang sudah disebutkan di halaman 5 majalah LPM Lintas IAIN Ambon rawan kasus kekerasan seksual. Data-data dikumpulkan mulai dari 2017-2021, bahkan menyebutkan beberapa data di 2016, kemudian proses yang dilakukan adalah dengan data primer melalui wawancara dan testimoni.
Dalam pertengahan pembahasan identifikasi majalah, Ia menuturkan bahwa, "Serius atau tidak serius, kekerasan seksual adalah kekerasan seksual, sebuah kejahatan kemanusiaan. Jadi sudah tidak ada permit pada bentuk kekerasan seksual,"
Dalam majalah LPM Lintas juga disebutkan alasan-alasan pelaku melakukan kekerasan seksual terhadap korban karena 'kasih sayang beta' hingga alasan 'untuk meramal'. Disebutkan pula di halaman 5 majalah LPM Lintas bahwa riset-riset tersebut bukan untuk korban, tetapi tujuan utamanya adalah supaya pihak kampus menertibkan situasi yang ramah terhadap penghapusan kekerasan seksual di kampus IAIN Ambon.
"Menurut saya, riset ini sudah mewakili akademisi yang kebebasannya itu dilindungi di dalam Undang-Undang 20 tahun 2003. Kebebasan akademik mahasiswa itu dilindungi di dalam lingkungan kampus, SK pembekuan ini melanggar Undang-Undang pendidikan, hati-hati," lanjut Dhiya pada tengah pembahasannya mengenai identifikasi majalah. Ia pun melanjutkan, kampus seharusnya senang dengan data ini, karena ini merupakan data awal yang membuat kampus menjadi mudah untuk melakukan investigasi.
Selain itu, Dhiya juga membahas tentang adanya masalah dalam surat pembekuan. Pertama, kekeliruan dari konsideran. Di dalam SK disebutkan, untuk menertibkan peran dan fungsi dari LPM Lintas maka LPM Lintas perlu dibekukan. Dhiya berpendapat bahwa tidak ada keterkaitan antara substansi yang ada di dalam majalah dengan peran dan fungsi LPM Lintas. Kedua, disebutkan dalam SK pembekuan bahwa keberadaan LPM Lintas tidak sesuai visi dan misi universitas, "Visi misi universitas itu apa? Apakah untuk membiarkan kekerasan seksual?" tegas Dhiya Al-Uyun.
Ketiga, dalam SK pembekuan ada hal yang kurang jelas, yakni keputusan diktum mengenai pembekuan LPM Lintas. Dalam SK tersebut tidak ditentukan sampai kapan tepatnya pembekuan itu berlaku. "Kemudian, di keputusan atau diktum tidak ditentukan kapannya ini juga cacat, jadi tidak boleh keputusan itu tidak jelas," lanjut Dhiya dalam penjelasan terkait masalah yang ada pada surat pembekuan.
Ia memberikan beberapa rekomendasi bagi LPM Lintas atas kelanjutan kasus pembekuan ini. Pertama, harus segera mengumpulkan bukti dan berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Ambon di bawah dinas sosial, serta membuat laporan kepolisian sembari berkoordinasi dengan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) dan dewan pers. Menurutnya, penting bagi LPM Lintas untuk terus berkomunikasi dengan LPSK, karena kondisi anggota LPM Lintas yang rawan saat ini sama seperti rawannya para korban. Ia juga menyebutkan bahwa Mahkamah Agung sudah melihat bahwa microfilm dan microvision dapat menjadi alat bukti, maka informasi-informasi elektronik dan dokumen elektronik jangan diberikan kepada pihak lawan.
Kedua, melaporkan ke PTUN atas pembekuan tersebut. Diyah menyarankan bahwa, dilihat dari aspek prosedural sembari melaporkan ke Kemenag, Irjen pun perlu turun untuk ikut menghadapi kasus ini. Ketiga, segera berkoordinasi dengan LBH (Lembaga Bantuan hukum), LPSK, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Komnas perempuan, Komnas HAM, dan dewan pers untuk mendapat perlindungan.
"Saya berharap IAIN meminta maaf kepada kawan-kawan kemudian mengusut tuntas kasus ini. Kemudian mencabut surat pembekuan, karena bisa berdampak pada individu, pejabat yang melakukan administrasi, juga berdampak ke institusi," ucap Dhiya dalam penutupan presentasinya.
Selain mendapat penolakan dari pihak Rektorat, majalah LPM Lintas juga mendapat penolakan dari beberapa mahasiswa. Namun, Yolanda sebagai pemimpin redaksi LPM Lintas mengungkapkan bahwa dirinya tidak mengetahui apakah gerakan itu murni dari mahasiswa itu sendiri atau gerakan dari kampus. Sebab, yang terlihat dari layar aksi penolakan tidak melibatkan UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) dan UKK (Unit Kegiatan Khusus). Melainkan organisasi di bawah naungan lembaga seperti HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurusan) dan Senat Mahasiswa.
"Saya dan teman-teman Lintas berharap dua hal, yang pertama cabut SK pembekuan, dan yang kedua usut tuntas kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus," ucap Yolanda dalam forum konsolidasi.
Dalam forum konsolidasi tersebut, teman-teman pers mahasiswa juga membuat pergerakan bersama untuk membela dan menemani LPM Lintas dalam kasus pembekuan ini. Beberapa gerakan bersama yang akan dilakukan adalah melakukan rilis pernyataan sikap, republikasi artikel Majalah LPM Lintas, propaganda poster berisi tuntutan, terus berusaha menghubungi Rektor, Warek III, dan Kemenag, serta melakukan serangan twitbon & hastag: #BacaBukanBredel #IAINAmbonSehat? #PersmaBukanHumasKampus #TolakPembredelanLPMLintas #CitraBaikKampusMenutupiKS, tag: @kemenag_ri @lintasdotcom @kemenpppa
Penulis: Tyas Putri Ramadhani
Editor: Dwi Kangjeng