Menggapai Asa di Tengah Keterbatasan: Perjuangan Mahasiswa Disabilitas Unindra

Menggapai Asa di Tengah Keterbatasan: Perjuangan Mahasiswa Disabilitas Unindra

Sumber gambar: Dok/LPM Progress/Fahira

 

Menggapai Asa di Tengah Keterbatasan: Perjuangan Mahasiswa Disabilitas Unindra

 

LPM Progress - Di sudut sebuah kampus besar di Jakarta, berdiri tegak bangunan Universitas Indraprasta PGRI, atau yang akrab disebut Unindra. Di balik dinding-dindingnya, ribuan cerita mengalir setiap hari, termasuk kisah Vanesa, seorang mahasiswa netra yang penuh semangat. Vanesa bukanlah sosok yang mudah menyerah, meskipun banyak tantangan yang harus dihadapinya.  

Sehari-harinya untuk  menemukan ruang kelas,  Vanesa harus bergantung pada memori dan indra peraba. Tantangan utama muncul saat ujian berbasis kertas karena kesulitan membaca dan menulis karena dosen-dosen di kampus pun tidak ada yang bisa membaca huruf braille.  

"Sebagai netra, saya sering kesulitan membaca soal ujian yang ditulis biasa. Saya  pernah mengusulkan penggunaan soft copy soal ujian atau Google Form, tetapi usulannya ditolak,” kisah Vanesa.

Ujian digital yang menggunakan perangkat semacam Google Form sebenarnya dapat mempermudah penyandang disabilitas netra  karena dapat diakses dengan suara pembaca layar, dapat dikerjakan dari mana saja dan  memungkinkan otomatisasi penilaian. Sedangkan ujian kertas memerlukan bantuan relawan untuk mengkonversi ke braille dan kehadiran fisik di lokasi tertentu. 

Karena kampus belum mengakomodasi ujian berbasis digital, setiap kali ujian Vanesa harus mencari relawan sendiri dari luar kampus. Ia biasanya menemukan jejaring relawan dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang memiliki program Pendidikan Khusus. Dalam dunia relawan, ada setidaknya tiga tipe: relawan berbayar, relawan dari komunitas yang biasanya mendapat sertifikat, dan relawan tak berbayar. Jika berbayar, Vanesa juga mesti membiayai sendiri tanpa bantuan dari kampus. 

Salah satu relawan pendamping Vanesa adalah Adra, mahasiswa semester 6 dari jurusan Pendidikan Khusus di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Jika Adra dan relawan lain sedang berhalangan  membantu, Vanesa terpaksa melewatkan ujian tersebut yang berdampak pada nilai mata kuliahnya.  

"Itu sangat melelahkan dan tidak adil. Kampus seharusnya lebih proaktif dalam menyediakan pendamping untuk mahasiswa berkebutuhan khusus," keluh Vanesa.

Saat ini Unindra menggunakan platform LMS yaitu perangkat lunak yang digunakan untuk mempermudah sistem pembelajaran elektronik (e-learning program). LMS digunakan untuk keperluan administrasi, dokumentasi, dan juga kegiatan belajar mengajar. Unindra juga menggunakan Sistem Informasi dan Akademik (SIKA) yaitu  portal yang mengintegrasikan seluruh sistem informasi tentang mahasiswa, seperti akademik, kemahasiswaan, dan keuangan.

Namun sayangnya kedua sistem itu belum ramah pengguna disabilitas netra, sehingga Vanesa sering terhambat dalam urusan perkuliahan sehari-harinya.  

 "Bayangkan harus menghadapi kesulitan teknis setiap hari hanya untuk hal-hal mendasar," ujar Vanesa dengan nada frustasi.

Sayangnya, masih ada juga dosen yang tidak merespons dengan baik saat diberitahu tentang kondisinya. Ada kalanya nilai  Vanesa  kurang bagus, semata  disebabkan oleh masalah teknis dan kurangnya dukungan dosen untuk mata kuliah bersangkutan.

 

Cerita Novia 

Ada pula kisah Novia Dewi Andini, mahasiswa semester dua Jurusan Bimbingan Konseling (BK) di Universitas Indraprasta (Unindra). Pada  September 2023, hidupnya berubah drastis akibat sebuah kecelakaan yang membuatnya harus menggunakan kursi roda sejak awal kuliah. Dua kali operasi yang dijalaninya, terakhir pada Februari, tidak memadamkan semangatnya untuk melanjutkan kuliah.

"Saya kembali ke kampus pada Oktober dengan tekad bulat. Saya ingin menunjukkan bahwa kondisi fisik tidak boleh menghalangi cita-cita saya," ujarnya.

Sayangnya fasilitas ramah disabilitas masih terbatas di kampus Unindra. Masih ada beberapa gedung yang tidak memiliki bidang miring dan elevator untuk mencapai ruangan di lantai atas. Keterbatasan elevator dan jembatan penghubung membuat perjalanan menuju ruang kelas sangat melelahkan bagi pengguna kursi roda seperti Novia. 

Sekretaris Program Studi Bimbingan Konseling Anna Rufaidah, M.Pd. Kons. memberikan dukungan penuh kepada Novia, antara lain mengatur lokasi ujian di gedung yang bisa diakses dengan mudah oleh pengguna kursi roda. Penanggung Jawab (PJ) sejumlah kelas juga sering membantu Novia memindahkan pertemuan ke gedung yang lebih mudah diakses. Meskipun demikian, masih ada sejumlah dosen yang kurang peka pada kebutuhan penyandang disabilitas.

"Saya akan terus berjuang, tidak hanya untuk diri saya sendiri, tetapi juga untuk teman-teman disabilitas lainnya," ujar Novia. 

Baik Vanesa dan Novia bersyukur atas dukungan teman-teman dan sebagian besar dosen. Namun mereka juga masih membutuhkan fasilitas fisik yang  mengakomodasi kebutuhan penyandang disabilitas. Mereka juga membutuhkan sistem belajar mengajar yang lebih inklusif, seperti penyediaan relawan yang seharusnya bisa difasilitasi kampus.  

Sebagai perbandingan, Universitas Pembangunan Nasional (UPN) menyediakan fasilitas lebih lengkap untuk teman-teman disabilitas, termasuk bidang miring dan guiding block untuk netra. Sedangkan UNJ  menyediakan jalur khusus untuk netra dan memfasilitasi  komunitas SOINA yaitu relawan yang membantu penyandang disabilitas dalam kegiatan olahraga.


Bagaimana Komitmen Unindra?

Wakil Rektor Unindra, Irwan Agus, menegaskan komitmennya untuk menyediakan fasilitas dan layanan yang dibutuhkan bagi mahasiswa disabilitas dengan segala tantangan yang ada, terutama masalah anggaran. 

“Ibaratnya, anggaran yang kita miliki seperti hujan yang kadang tak cukup membasahi tanah kering. Kampus kita dikelola secara mandiri oleh yayasan,  jadi fasilitas mungkin belum sebaik PTN yang didukung pemerintah. Misalnya, Unindra belum mampu menyediakan fasilitas khusus seperti guiding block,”  ujarnya. 

Saat ini fasilitas yang tersedia adalah ruang kelas di lantai dasar, elevator, kursi roda di klinik, dan ambulans untuk keadaan darurat. Selain fasilitas fisik, Unindra juga menyediakan Unit Layanan Bimbingan Konseling (UPBK) yang terbuka untuk semua mahasiswa yang mengalami masalah dalam proses perkuliahan, termasuk disabilitas.

Irwan menyatakan terbuka dengan masukan dari mahasiswa disabilitas dan akan segera menindaklanjuti kebutuhan mereka. Ia pun mengajak semua komponen kampus agar aktif memberikan dukungan kepada mahasiswa disabilitas.

"Komunikasi yang baik antara mahasiswa dan pihak kampus akan membantu Unindra dalam memahami dan memenuhi kebutuhan disabilitas,“ tutur Irwan. 

Perjuangan Vanesa dan Novia adalah cermin dari semangat yang tidak pernah padam. Mereka menjadi inspirasi  untuk terus berjuang meraih kesetaraan dan keadilan di bidang pendidikan. Semoga kita semua  menjadi lebih peka untuk mendukung penyandang disabilitas di sekitar kita, karena cita-cita kesetaraan tak akan terwujud tanpa akses yang adil bagi setiap orang.
 

***

Liputan ini menjadi bagian dari program pelatihan dan hibah Story Grant “Anak Muda Ciptakan Ruang Aman Keberagaman di Media” yang dilaksanakan oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK). Terlaksana atas dukungan rakyat Amerika Serikat melalui USAID. Isinya adalah tanggung jawab SEJUK dan tidak mencerminkan pandangan Internews, USAID, atau pemerintah AS.

 

Penulis: Ariqah Fahira