
Seruan Aksi RUU TNI: Gelombang Protes Tak Terbendung, DPR Kukuhkan Revisi UU TNI
Sumber Gambar: Dok/LPMProgress/IrmaFaurina
Kamis (20/03), telah berlangsung aksi penolakan Revisi Undang-Undang (RUU) Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (DPR/MPR RI), Jakarta Pusat. Aksi ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat sipil yang terdiri dari buruh, mahasiswa, dan aktivis untuk menolak pengesahan RUU TNI.
Aksi tersebut dimulai pada pukul 10.10 WIB dengan massa aksi yang berkumpul di depan Gerbang Pancasila, akan tetapi pada pukul 10.30 WIB Revisi UU TNI telah disahkan oleh DPR. Hal itu memicu amarah dan kekecewaan pada massa aksi. Kemudian, pukul 11.22 WIB massa aksi berkumpul untuk melakukan perjalanan dari depan Gerbang Pancasila DPR RI sampai Gerbang Utama DPR RI sembari menyuarakan penolakan terhadap RUU TNI.
Aksi ini muncul sebagai bentuk protes terhadap pemerintah dan DPR yang dinilai tergesa-gesa dalam mengesahkan Revisi UU TNI. Beberapa pasal yang direvisi dalam undang-undang ini menimbulkan polemik di masyarakat. Salah satunya perubahan pada Pasal 47, yang menurut beberapa sumber kini memungkinkan prajurit aktif TNI menduduki jabatan sipil di 14 kementerian dan lembaga tanpa harus pensiun dari dinas militer.
Selain itu, revisi Pasal 53 menaikkan batas usia pensiun perwira TNI dari 58 tahun menjadi 60 tahun, serta bintara dan tamtama dari 53 tahun menjadi 58 tahun. Sementara itu, perubahan Pasal 7 menambahkan tugas baru bagi TNI dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dengan alasan menghindari tumpang tindih dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam penanganan hukum dan keamanan. Apabila hal ini dikerjakan oleh TNI akan menimbulkan benturan dengan instansi lain, meskipun beberapa klausul sempat dikoreksi akibat kritik dari publik.
Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Sunarno, menegaskan bahwa revisi ini berpotensi membangkitkan kembali militerisme di Indonesia. Ia menambahkan bahwa TNI seharusnya tetap berfokus pada pertahanan negara dan tidak masuk ke ranah politik maupun pemerintahan sipil.
“Kami menuntut pembatalan RUU TNI, tapi pemerintah justru memaksakan pengesahan. Ini sama saja memberi ruang bagi TNI untuk mengambil alih jabatan sipil dan menghidupkan kembali dwifungsi militer, yang seharusnya sudah dihapus sejak reformasi 1998,” ujar Sunarno ketika diwawancarai di depan Gerbang Utama DPR RI, (20/03).
Senada dengan itu, Samuel Joseph Jeremia, Mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Padjadjaran, menyoroti dampak kebijakan ini terhadap demokrasi. Menurutnya, masuknya militer ke ranah sipil berpotensi membungkam suara rakyat. Relasi kuasa TNI yang membawa senjata tentu lebih besar dibanding sipil yang hanya mengandalkan pemikiran dan ilmu.
"Ini ancaman serius bagi demokrasi,” ujar Samuel saat diwawancarai di Gerbang Utama DPR RI, (20/03).
Samuel juga mengkritik minimnya partisipasi publik dalam pembahasan revisi undang-undang ini dan menyerukan amendemen untuk mengembalikan supremasi sipil.
Meski aksi demonstrasi telah berlangsung penuh rasa kesal DPR tetap mengesahkan Revisi UU TNI. Sunarno juga menegaskan bahwa suara mereka tidak didengar oleh DPR, sehingga revisi ini membuka kembali peluang bagi dwifungsi militer, sesuatu yang sudah ditolak sejak Reformasi 1998.
Wartawan: Kenny Aprilian & M Hashemi Rafsanjani
Penulis: Kenny Aprilian
Editor: Khoiru Nisa