Adaptasi & Inovasi dalam Menghadapi Minat Literasi

Adaptasi & Inovasi dalam Menghadapi Minat Literasi

Sumber gambar: Dok/LPM Progress/Larashati Crita

 

 

LPM Progress - Budaya membaca yang telah mengakar pada masyarakatnya merupakan tolak ukur kemajuan dan peradaban suatu bangsa. Bila kita ingat Toko Gunung Agung telah mengumumkan menutup toko fisiknya secara permanen di akhir tahun nanti. Peristiwa ini bukanlah hal yang pertama, sebelumnya sudah banyak toko buku yang menutup gerainya secara fisik, seperti Toko Buku Togamas, Books & Beyond dan lain sebagainya. Selain itu, kasus yang sama juga terjadi di luar negeri. Dirangkum dari laman Business Insider lewat trenasia.com toko buku seperti Bookstop dari Texas, Borders Book dari Michigan Amerika Serikat hingga Waldenbooks yang tutup karena dilikuidasi oleh Borders Group tahun 2011 juga telah menutup gerainya secara permanen. 

Ada beberapa penyebab, tetapi banyak orang yang menyoroti hal ini terjadi karena minimnya literasi. Ketua umum komunitas literasi Beranibaca.id Wahyudi mengatakan sebenarnya ada sudut pandang lain yang perlu kita lihat. “Kita sepakat mengatakan bahwa perubahan itu sesuatu yang abadi. Tapi sebenarnya ada sudut pandang lain, bagaimana cara kita bertahan dalam perubahan kuncinya satu, adaptasi,” ujarnya saat diwawancarai melalui via zoom (20/06/2023). 

Wahyudi juga menambahkan bahwa wujud buku akan bertransformasi dari fisik ke digital, karena bagaimanapun tren digitalisasi ini merasuk ke semua lini, dan ia tidak menyalahkan sudut pandang yang mengatakan minat literasi di Indonesia memang rendah. Namun, ia menyampaikan tiga hal yang turut memberikan nuansa prihatin pada tutupnya Toko Gunung Agung, yang pertama pembajakan. “Jadi, dari segi pembajakan memang sangat digandrungi, itu sangat merajalela, karena memang murah sesuai isi kantong, tetapi bagaimanapun pembajakan itu salah, banyak yang kita keluarkan untuk biaya kurator, penulis, penerbit. Nah, hak-hak mereka itu yang tidak diperoleh pada buku pembajakan,” tegas Wahyudi. 

Kedua, pencurian perpustakaan, Wahyudi sempat mengamati kasus pencurian buku perpustakaan sekolah di Indramayu dan di taman literasi Martha serta yang terakhir minat baca literasi yang rendah. Bersamaan dengan pendapatnya, The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) menyatakan dari 1.000 penduduk Indonesia hanya satu orang yang memiliki minat baca, hal ini diperkuat dengan data indeksi minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001 dengan rata-rata masyarakat Indonesia membaca 0-1 buku setiap tahunnya. Maret 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara mengenai minat baca, tepatnya berada di bawah Thailand (59) dan di atas Botswana (61) pada riset dengan judul World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University.

Tidak bertahannya toko buku secara fisik juga dipengaruhi oleh perilaku konsumen. Bagaimana dunia literasi dan perbukuan menghadapi proses digitalisasi dengan mengikuti perilaku konsumen seperti halnya penulis menerbitkan bukunya menjadi e-book, ataupun berkolaborasi dengan teknologi Artificial Intelligence (AI). Begitupun dengan toko buku yang memberikan inovasi, beberapa toko buku mulai menambahkan cafe, resto maupun menciptakan suasana dan lingkungan yang nyaman atau dapat membuka marketplace secara online. “Demikian juga dengan semakin banyaknya toko buku fisik yang tutup, yang artinya ditiadakan dalam bentuk nyata atau fisik tetapi tidak dalam bentuk maya. Di samping minat baca, faktor kemajuan digital juga ikut mempercepat hal itu terjadi” ujarnya. 

Wahyudi mengungkapkan minimnya literasi mungkin saja terjadi pada pembaca buku, tetapi tidak untuk minat membaca postingan atau tulisan yang lebih ringkas pada media sosial karena Indonesia dianggap sebagai pengguna gadget tertinggi dunia. Melihat data Wearesocial per Januari 2017 mengungkap, orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari, dengan begitu data pada lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang.

Tantangan dalam mengajak generasi muda untuk meningkatkan literasi adalah mengajak mereka menyukai apa itu membaca dengan membaca buku-buku yang sederhana. Selain itu, mulai mengenalkan buku cerita bergambar pada anak-anak untuk menarik minat baca mereka. “Kenapa anak-anak? Karena membentuk budaya itu harus sejak dini. Jadi, kalau anak-anak itu diarahkan, dibiasakan dilengkungkan, dibiasakan membaca, maka ketika dewasa mereka akan terbiasa, dan merasa ada sesuatu yang kurang ketika tidak membaca” ujarnya. 

Pembentukan kebiasaan juga perlu pendampingan, majunya teknologi bisa saja menyetir tanpa arah generasi muda sekarang. Orang tua tanpa sadar justru ikut memfasilitasi hal tersebut, sehingga budaya membaca belum menjamur tetapi teknologi sudah masuk terlebih dahulu. “Harusnya ketika budaya membaca itu kuat, sudah membudaya banget dan teknologi masuk maka akan aman, tidak akan terpengaruh, sehingga mereka bisa memanfaatkan teknologi untuk meningkatkan budaya membaca” ujarnya.

Di akhir kata Wahyudi mengingatkan bahwa menanamkan minat membaca pada generasi muda dan usia dini itu perlu perhatian dan pendampingan. Jangan sampai dalam mengasuh anak, agar anak tidak gaduh lalu diberikan handphone, menurutnya ini adalah hal yang keliru.

 

 

 

Penulis: Larashati Crita Annisa Siswoyo

Wartawan: Faza Putri Deprina

Editor: Cindi Aulia