Stigma Ganda Pekerja Seks di Indonesia: Dianggap Tidak Bermoral hingga Pembawa Penyakit
Sumber gambar: Dok/LPMProgress/Valensiya
“Banyak pekerja seks yang menolak minum obat HIV, padahal paham risikonya. Alasannya karena malu kalau sampai ketahuan. Bahkan ada yang akhirnya sampai meninggal dunia karena minum obatnya nggak rutin,” tutur Sekar.
Malam itu gelap dan senyap. Waktu yang pas bagi Sekar untuk menyudahi lelahnya dari kesibukan hari itu. Usai merebahkan kepalanya di atas bantal, ia kemudian tenggelam dalam tidur yang nyenyak. Tiba-tiba, dering nyaring telepon genggam memecah jam istirahat Sekar. Setengah sadar, ia meraih ponsel itu mencoba mendengarkan isi panggilan tak terduga ini.
“Kak, kondomnya habis nih,” ujar suara yang keluar dari ponsel Sekar.
Sekar mengucek mata, mencoba memeriksa jam pada ponselnya. “Pukul 2 pagi?” gumamnya. “Kenapa tidak tadi sore?” jawabnya.
“Yaudah kalo ga mau ngasih, ga pake kondom saya main,” ancam temannya.
Menahan berat kantuk, Sekar tetap mengantarkannya meski dengan jarak tempuh yang cukup jauh.
“Karena memang tugas saya sih. Daripada dia menularkan? Mending saya yang repot-repot nganterin, kalo orang-orang di sekitarnya tertular, misi kerja saya gagal nantinya,” tutur Sekar di kawasan Pantai Carita (25/2/2024).
Meski ia mengaku jengkel dengan kejadian hari itu, namun ia menceritakannya sambil tertawa. “Lain kali, kondom jangan sampai habis total, tapi mintanya jangan tengah malem juga,” nasihat Sekar kepada temannya sambil tertawa.
“Ya kesel sih, tapi saya kasihan kalau mereka harus beli, perut laper penghasilan belum ada harus beli kondom juga. Saya ga tegaan orangnya,” lanjut Sekar berkisah.
Sekar (nama disamarkan) adalah salah seorang Petugas Penjangkau Lapangan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) di Provinsi Banten yang juga merupakan perempuan pekerja seks (PS) dan tergabung dalam OPSI (Organisasi Perubahan Sosial Indonesia). Ia menjadi pekerja seks sejak usia anak karena tuntutan ekonomi. Saat SMA, ia membiayai sekolahnya dari uang hasil menjual jasanya.
Sadar betul akan risiko yang membayangi pekerjaannya sebagai pekerja seks, Sekar bergabung dengan OPSI tahun 2015. Berbeda dengan akronim yang ditampilkan kepada publik agar diterima secara legal, OPSI sebenarnya singkatan dari Organisasi Pekerja Seks Indonesia, wadah yang menaungi pekerja seks dan mantan pekerja seks, baik perempuan, transgender, maupun laki-laki untuk saling merangkul, mengedukasi, dan memperjuangkan hak-hak pekerja seks di Indonesia.
Setelah mendapatkan pekerjaan tetap, berprofesi sebagai pekerja seks saat ini menjadi kerja sampingan baginya untuk mencukupi kebutuhan ia dan anaknya.
“Saya ini termasuk pekerja seks tidak langsung. Istilahnya, karena menjadi pekerja seks bukan lagi pekerjaan utama saya. Kalau PS yang hidup bergantung utamanya pada pekerjaan ini dinamakan pekerja seks langsung,” ujar perempuan yang mengenakan pakaian serba hitam itu.
Namun, bekerja ganda dalam dua bidang ini menurutnya cukup menyenangkan, karena sebagai petugas penjangkau HIV, ia terhubung banyak dengan PS lainnya yang rentan terinfeksi HIV. Hidup di tengah kota Seribu Santri yang penuh dengan stigma terhadap pekerja seks, Sekar tergerak untuk tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, namun juga rekan-rekan pekerja seks lainnya.
“Saya kerja kayak gini tuh seneng banget, saya ngga bisa bantu secara materil kepada para pekerja seks yang hidupnya sulit secara ekonomi. Kalo ngasih uang ga bisa saya, setidaknya saya bisa ngasih edukasi supaya mereka sehat, bisa bekerja untuk menghidupi anaknya, orang tuanya. Selagi saya bisa menolong mereka, kenapa nggak?” tutur Sekar.
Pengalamannya sebagai pekerja seks membuatnya sangat berempati terhadap kerentanan pekerja seks di Indonesia yang masih dikelilingi stigma. Pekerja seks di Indonesia menghadapi berlapis stigma sosial, kesehatan, hukum, gender, ekonomi, dan psikologis. Mereka seringkali dianggap rendah moral, sumber penyebaran penyakit, pun jadi target razia karena dianggap tidak sesuai dengan moral dan ekspektasi gender.
Stigma tersebut membuat mereka terpinggirkan secara sosial, sulit mengakses layanan kesehatan, dan rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan. Sekar seringkali merasa sedih dan kadang merasa gagal menjalankan tugasnya apabila mendengar kabar pekerja seks yang terinfeksi HIV.
“Saya sedih kalau pekerja seks terinfeksi HIV, makanya saya terus-terusan mengingatkan mereka agar selalu menggunakan kondom agar terhindar dari KTD (Kehamilan yang Tidak Diinginkan), IMS (Infeksi Menular Seksual), dan HIV (Human Immunodeficiency Virus),” kata Sekar.
Dulu, perjalanan pekerja seks di Banten untuk mendapatkan pengobatan HIV dan AIDS menjadi sebuah tantangan yang berat. Para pekerja seks dari berbagai kota Banten harus bolak-balik dari kabupaten ke Rumah Sakit Drajat Serang Banten, hanya untuk mengambil obat-obat yang dibutuhkan. Namun, tiga tahun yang lalu, situasi mulai membaik ketika regulasi baru membuat kemudahan akses obat ARV (anti-retroviral) di puskesmas-puskesmas setempat.
Perubahan ini tidak terjadi begitu saja. Ada keterlibatan penting dari Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) yang terus mendukung rencana dan upaya untuk memperluas dan mempermudah akses pengobatan HIV dan AIDS di berbagai kabupaten di Banten.
Melalui kerja keras dan kolaborasi antar organisasi, Sekar dan banyak individu lainnya mendapati kemudahan akses pengobatan yang lebih baik di pusat-pusat kesehatan setempat. Hal ini tidak hanya memberikan harapan baru, tetapi juga merupakan langkah penting menuju penghapusan stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang terinfeksi HIV dalam masyarakat.
Melawan Berlapis Stigma, Kekerasan, dan Diskriminasi
Sebagai pekerja seks (PS), Sekar dan pekerja seks lainnya tak bisa menghindari dari stigma, kekerasan, pelecehan maupun diskriminasi. Budaya dan agama di Indonesia yang menganggap aktvitas seksual di luar nikah sebagai tabu atau dosa seringkali menciptakan pandangan negatif terhadap pekerja seks karena dianggap melanggar norma sosial yang ada. Hal ini mengakibatkan penolakan dan perlakuan diskriminatif terhadap mereka.
Meta (nama disamarkan), pekerja seks transpuan yang saat ini tergabung dalam Dewan Nasional OPSI menceritakan bahwa tidak sedikit anggota masyarakat beranggapan bahwa PS adalah profesi hina, misalnya disebut wanita tuna susila (WTS) yang ‘menjual diri’.
“Kadang masih ada yang memanggil kami begitu (WTS–read). Kami tidak suka disebut WTS (wanita tuna susila), sakit sekali rasanya. Kami itu tidak tuna ya, kami bekerja untuk hidup kami, anak kami, keluarga kami,” ujar Meta.
Panggilan tidak layak ataupun ucapan tidak senonoh dari masyarakat bukan sekali dua kali dialami Meta, belum lagi perlakuan tamu yang merasa sudah membayar sehingga merasa bisa memperlakukan PS seenaknya.
“Kalau saya tidak pernah, tapi ada teman pekerja seks yang diperlakukan tidak layak seperti itu. Kalau saya sih, pernahnya ngajak ketemu, tapi tamunya malah ga dateng,” tutur Meta.
Kekerasan pada pekerja seks seringkali mendapat stigma buruk dan dinormalisasi aparat. Pekerja seks rentan mendapat kekerasan fisik dan seksual, baik oleh tamu/pelanggan, pasangan, maupun polisi. OPSI mencatat ada sekitar seribu kasus kekerasan, dengan 1.500 jenis pelanggaran pada pekerja seks di seluruh Indonesia.
Berdasarkan pemetaan wilayah OPSI, Jawa Timur (164 kasus) menjadi daerah dengan angka kekerasan terhadap pekerja seks paling tinggi selama tiga tahun terakhir, disusul Provinsi Jambi (139 kasus), serta Sulawesi Utara di urutan ketiga terbanyak (126 kasus).
Sementara melalui kategorisasi gender, perempuan pekerja seks tercatat sebagai kelompok paling rentan mendapat kekerasan (686), transpuan menempati urutan kedua (128), dan laki-laki pekerja seks juga turut mendapatkan tindak kekerasan (63).
Dalam laporan tersebut, OPSI mencatat tiga pelaku yang terlibat dalam kekerasan pada pekerja seks, yaitu klien/tamu (192), pasangan (161), serta aparat penegak hukum alias polisi (128) menjadi pelaku kekerasan terbanyak pada pekerja seks dalam tiga tahun terakhir.
Laporan OPSI turut mendokumentasikan nasib akhir kasus kekerasan yang dilaporkan pada aparat. Dari tiga tahun periode 2019-2021, sebanyak 146 kasus berhasil rampung ditangani, sementara 128 kasus belum selesai ditangani, ada juga yang memilih menyelesaian kasus di luar pengadilan (60 kasus). Tapi pekerja seks korban kekerasan paling banyak memilih tidak meneruskan pelaporan (597).
Data ini buru-buru diamini oleh Meta, “Iya, berdasarkan pengalaman advokasi OPSI, kebanyakan kasus kekerasan yang dialami pekerja seks tidak menyelesaikan kasusnya di pengadilan, atau berakhir damai,” ujar Meta.
Perjalanan mendapatkan keadilan bagi pekerja seks ini begitu berliku. Sudah tidak punya payung hukum, pekerjaan mereka tidak diakui negara, seringkali distigma, dihakimi, dan disalahkan akibat profesinya.
Meskipun telah berjuang untuk mendapatkan perlakuan yang adil, banyak di antara mereka masih terjebak dalam lingkaran diskriminasi dan ketidaksetaraan.
“Saya memilih untuk merahasiakan identitas saya (sebagai pekerja seks–read) sedari SMP agar tidak diberikan banyak pertanyaan dari pihak keluarga,” ujar Heru (nama disamarkan) yang merupakan pekerja seks gay yang tergabung dalam OPSI.
Meta juga menceritakan stigma terhadap pekerja seks yang positif HIV seperti dirinya, menurutnya kampanye-kampanye anti HIV pemerintah juga turut melanggengkan stigma negatif terhadap mereka yang terinfeksi HIV.
“Ada banyak misinformasi, misalnya orang HIV selalu digambarkan lesu, berwarna biru, dan dapat menularkan virus hanya melalui sentuhan. Padahal HIV berbeda dengan AIDS, tidak semua yang positif HIV mengalami gejala AIDS. Pun penularan HIV tidak semudah karena berdekatan atau karena sentuhan,” kata Meta.
Selaras dengan keterangan Meta, Sekar menambahkan bahwa misinformasi ini dapat berakibat fatal pada mereka yang terinfeksi HIV. Misalnya, karena khawatir dijauhi orang-orang di sekitarnya, terdapat mereka yang menyangkal dan tidak mau berobat demi menyembunyikan penyakitnya.
“Banyak juga (pekerja seks– baca) yang menolak minum obat HIV padahal paham risikonya, alasannya karena malu kalau sampai ketahuan keluarga, kerabat, dan lain-lain. Bahkan ada yang akhirnya sampai meninggal dunia karena minum obatnya nggak rutin,” tutur Sekar.
“Padahal banyak penyakit lain yang minum obatnya juga seumur hidup, seperti diabetes, namun tidak perlu malu minum obatnya kan?” ujar Sekar membandingkan.
Terlepas dari pro dan kontra terhadap profesi pekerja seks, Meta menjelaskan bahwa prostitusi adalah pekerjaan yang sudah sangat tua sekali usianya (sejak manusia mulai melembagakan seks melalui perkawinan). Menurutnya, pekerjaan ini tidak akan lekang oleh waktu. Dilarang atau tidak, diatur atau tidak, pekerja seks akan tetap ada.
Meta menerangkan, bahwa menjadi pekerja seks merupakan bentuk membunuh dilema karena kebutuhan. “Di satu sisi dilema, satu sisi perut keroncongan, pilih yang mana?” ujarnya. “Tentu perut yang keroncongan harus didiamkan,” jawabnya.
Pentingnya Jejaring Pekerja Seks di Indonesia: “Ketika Pemerintah dan Masyarakat Tidak Peduli, Siapa yang Akan Peduli Pekerja Seks Selain Pekerja Seks itu Sendiri?”
Pemikiran umum seringkali menilai pekerja seks sebagai individu yang menjual tubuhnya, meskipun pada kenyataannya pekerjaan yang mereka jalani tidak berbeda secara substansial dengan profesi lain yang menawarkan jasa.
“Di OPSI kita selalu saling mengedukasi bahwa yang kita jual itu jasa layanan seks bukan jual diri, tubuh kita tetap milik kita. Tamu atau klien kita tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Harus sesuai kesepakatan pelayanan,” terang Meta memaparkan upaya-upaya OPSI untuk membangun pemahaman tentang otoritas tubuh dan aktivitas seks konsensual pada para anggotanya.
Adanya komunitas atau organisasi yang bertujuan melindungi dan memberikan tempat perlindungan bagi pekerja seks menjadi sangat penting, mengingat kurangnya dukungan baik dari masyarakat maupun pemerintah Indonesia terhadap profesi ini.
Kehadiran pekerja seks tersebar di seluruh wilayah Indonesia, sesuai dengan data Kementerian Sosial Indonesia pada tahun 2009 yang mencatat jumlah pekerja seks sebanyak 71.721 orang, meningkat sekitar 8.000 orang dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, pada tahun 2015, Kementerian Sosial memperkirakan jumlah tersebut menurun menjadi 56.000 pekerja seks yang beroperasi di 164 lokalisasi.
Organisasi Perubahan Sosial Indonesia (OPSI) merupakan salah satu jaringan nasional yang terbentuk pada tahun 2009 untuk memperjuangkan hak-hak konstitusi pekerja seks sebagai warga negara, menghilangkan stigma terhadap pekerja seks, mendorong terlibatnya pekerja seks secara penuh dalam pengambilan kebijakan program penanggulangan HIV & AIDS, dan mendorong adanya pengakuan negara Indonesia atas status pekerja seks.
“Belum ada pemerintah dan aparatur negara yang berpihak pada pekerja seks, siapa lagi yang akan peduli pada pekerja seks kecuali pekerja seks itu sendiri? Maka dari itu kami (OPSI–read) ada,” ujar Meta, pekerja seks yang tergabung dalam Dewan Nasional OPSI.
Anggota OPSI sendiri terdiri dari pekerja seks maupun mantan pekerja seks dari berbagai identitas gender dan seksualitas. Saat ini OPSI sudah tersebar di 21 provinsi di Indonesia serta tergabung dalam jejaring tingkat global, sebagai anggota Asia Pasifik Network of Social Workers (APNSW) dan NSWP (Global Network of Sex Work Projects).
“Secara teknis, kami merangkul para pekerja seks, bukan melegalkan prostitusi, tapi kami mengumpulkan orang-orang yang sudah menganggap itu sebagai pekerjaannya. Stigma, diskriminasi, dan kekerasan dari mana pun, bisa curhat di sini, dan mendapatkan pembelaan hak asasi manusia, bahwa pekerja seks itu juga manusia yang berhak bebas dari perlakuan tidak layak,” tambah Meta.
Berdasarkan keterangan Meta dan Sekar, para pekerja seks yang tergabung dalam OPSI menjadi agen perubahan dalam dunia pekerja seks. Mereka mengampanyekan penggunaan kondom, pemeriksaan kesehatan seksual berkala, dan membentuk aliansi pekerja seks untuk memberi perlindungan pada sesama sejawat.
Sekar misalnya, rutin menjangkau pekerja seks dan memberikan edukasi ke rumah-rumah bordil akan pentingnya penggunaan kondom. Akhirnya, para pekerja seks tersebut bahkan berani menolak dan mengusir pelanggan yang tidak ingin menggunakan kondom.
“Kita sadar risiko pekerjaan kita, kita selalu berprinsip tegas No Condom No Sex,” ujar Sekar.
“Kita juga ajarkan ini pada setiap pekerja seks agar terhindar dari risiko Infeksi Menular Seksual (IMS), HIV dan AIDS, serta Kehamilan yang Tidak Diinginkan (KTD),” tambahnya.
Sebagai pekerja seks yang positif HIV, Meta mengatakan bahwa prinsip No Condom No Sex ini tidak hanya diajarkan kepada sesama pekerja seks, namun juga kepada pelanggan atau tamu yang datang.
“Meski HIV saya tidak aktif dan tidak lagi menularkan karena saya rutin minum ARV. Saya tetap berhati-hati lagi dan selalu memberikan edukasi kepada klien saya sebelum "kerja" bahwa semua klien saya harus pakai kondom,” ujar Meta.
“Saya sehat kok, ga usah pake kondom,” tutur Meta menirukan kliennya yang kadang menolak. Meta tetap tegas menolak dan mengatakan, “Dia barangkali akan menanyakan ke pekerja seks lain, kemudian menemukan bahwa semua pekerja seks di tempat ini rupanya memang aturannya harus pakai kondom semua,” lanjut Meta.
Hal ini menjadi perlindungan secara kolektif terhadap para pekerja seks untuk menjaga kesehatan reproduksinya. Selain itu, OPSI juga menyediakan pendampingan dan advokasi terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap pekerja seks.
“Untuk pendampingan kasus, OPSI bekerja sama dengan bantuan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di tingkat lokal dan nasional,” kata Meta.
Kendati demikian, sebagai organisasi yang memperjuangkan hak-hak pekerja seks, OPSI juga seringkali terkena getahnya, misalnya kantor OPSI di Jakarta pernah dipersekusi dan diusir tanpa alasan yang jelas oleh sekelompok masyarakat. Mereka dituduh oleh pihak yang mengusir sebagai tempat berkumpulnya individu LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) dan sebagai lokasi transaksi seks, tanpa bukti yang mendukung klaim tersebut.
“Justru ketika OPSI ditiadakan, ke mana para PS akan singgah dan berserikat? Kalo pun OPSI sudah tidak ada, memangnya akan menghilangkan profesi pekerja seks?” tutup Meta.
Penulis : Dian Amalia (LPM Suma UI), Valensiya (LPM Progress), Putri Nadhila (LPM Jurno Liberto)
Identitas Penulis: Artikel ini dibuat sebagai bagian dari tugas Pelatihan Jurnalisme Keberagaman oleh Kabar Sejuk 2024 di Banten. Penulis terdiri dari tiga orang perempuan dari tiga Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) yang berbeda-beda. Dian adalah mahasiswa FISIP UI 2019, Pemimpin Redaksi Suara Mahasiswa Universitas Indonesia 2021-2023. Valensiya adalah Pemimpin Umum LPM Progress Universitas Indraprasta PGRI. Nadhilla adalah reporter dari LPM Jurno Liberto, UIN Jakarta.