Buruh Turun ke Jalan, Permenaker JHT Cair di Usia 56 Siap Dievaluasi

Buruh Turun ke Jalan, Permenaker JHT Cair di Usia 56 Siap Dievaluasi

Sumber gambar: Dok/LPM Progress/Danil Dwi Saputra

 

LPM Progress—Aksi tolak Jaminan Hari Tua (JHT) cair di usia 56 tahun digelar di depan gedung Kementerian Ketenagakerjaan. Para perwakilan pemimpin komunitas Afiliasi Federasi KSPI, KPBI, Aliansi Buruh Bekasi Bersatu, dan teman-teman perserikatan lainnya melakukan negoisasi di dalam gedung kementerian ketenagakerjaan dengan Ida Fauziyah selaku Menteri Ketenagakerjaan.

Aksi yang diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya ini mengajukan beberapa tuntutan. Pertama, tuntutan agar pemerintah mencabut Permenaker Nomor 2 tahun 2022 tentang Tata Cara Persyaratan Pembayaran Tunjangan Hari Tua (JHT).

Tuntutan kedua agar presiden Jokowi mencopot menteri Ketenagakerjaan.

Ramidi selaku Sekertaris Jenderal KSPI mengatakan bahwa komunikasi antara pimpinan buruh dengan kementerian ketenagakerjaan akan coba dilakukan. "Komunikasi dan dialog kita tidak anti dengan itu (dialog), kami siap untuk berdialog. Tetapi saat dialog seharusnya dilakukan sebelum Permenaker itu muncul, jadi bukan Permenaker itu sudah muncul, tapi dialognya baru dilakukan," ujar Ramidi.

Berdasarkan hasil pertemuan, Ramidi mengatakan Menaker Ida Fauziyah meminta waktu 3 bulan untuk mengevaluasi Permenaker ini. Namun kelompok buruh menolak permintaan tersebut, dan memberikan waktu 2 minggu untuk segera mencabut Permenaker. Jika dalam waktu 2 minggu tidak ada tindakan, para buruh akan terus melakukan aksi.

Selain itu, Ramidi mengatakan bahwa petisi tolak JHT cair di usia 56 tahun telah dibuat dan ditandatangani oleh hampir 500 ribu orang, yang berarti bahwa para buruh benar-benar menolak Permenaker tersebut.

Ramidi juga menegaskan, "Jika alasan (dibuatnya Permenaker Nomor 2 tahun 2022 karena) akan diberlakukannya Jaminan Kehilangan Pekerjaan, hal tersebut sama sekali tidak ada korelasinya dengan persoalan JHT."

 

 

Penulis: Danil Dwi Saputra

Reporter: Danang Dwi Laksana

Editor: Dwi Kangjeng